Sabtu, 17 November 2007

Sudan vs Konflik

Republik Sudan adalah sebuah negara di Afrika timur laut yang merupakan negara terbesar di Afrika dan seringkali masih dianggap bagian Timur Tengah. Ibukotanya di Khartoum.

Sudan memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1956. Dua tahun kemudian sebuah kudeta militer menggulingkan pemerintah sipil yang dipilih, dan antagonisme antara daerah utara yang Muslim dan daerah selatan yang Kristen dan Animist mulai mengemuka. Negara terbesar di benua Afrika ini baru menikmati masa damai dan demokrasi selama 11 tahun semenjak kemerdekaannya itu.

Kudeta, makar, revolusi dan perang saudara banyak mengisi sejarah pasca kemerdekaan Sudan. Tetapi masa satu tahun, pada 1983, mempunyai arti khusus. Hukum shariah diundangkan dan pemerintah Sudan mengusahakan terbentuknya sebuah negara Islam - cita-cita yang tidak pernah disetujui oleh daerah Selatan. Hal tersebut merusakkan suasana yang relatif stabil, yang diletakkan dasarnya melalui persetujuan damai Addis Ababa tahun 1972, yang menetapkan pembentukan sebuah pemerintah daerah untuk Sudan Selatan. Ironisnya, perundingan yang sebetulnya cukup berhasil antara Utara dan Selatan ini, dalam masa dua tahun belakangan ini telah kembali ke gagasan diadakannya pemerintah swa-praja di Sudan Selatan.

Akan tetapi, sementara perundingan berlangsung, sebuah krisis lain pecah di daerah barat di Darfur. Pada awal 2003, kelompok-kelompok pemberontak mulai menyerang sasaran-sasaran pemerintah. Mereka menuduh pemerintah mengabaikan daerah mereka. Sebagai jawabannya, pemerintah memobilisasikan pasukan yang mereka sebut "pasukan milisi pertahanan diri" untuk menghadapi pemberontak itu. Pemerintah Sudan menyebut aksi-aksi kekerasan yang marak setelah itu sebagai "kekacauan kesukuan".

Pertikaian dan perebutan kekuasaan, sudah mewarnai Sudan sejak ribuan tahun silam. Yaitu saat Raja Aksum dari Ethiopia, menghancurkan ibu kota Kerajaan Kush, Meroe. Kota tua itu dibangun raja-raja dari dinasti Mesir yang pertama datang ke Sudan Utara, sekitar tahun 4000 SM. Selanjutnya berdirilah dua kerajaan baru yaitu Maqurra dan Alwa. Pada tahun 1500-an, Maqurra jatuh ke tangan orang-orang Arab bersamaan dengan masuknya Islam ke Sudan. Setelah melakukan perkawinan campuran dengan suku Funj, orang Arab muslim menghancurkan Alwa. Selanjutnya dinasti Funj berkuasa hingga 1821.

Selanjutnya Sudan dikuasai Turki yang saat itu berada di bawah kekuasaan Mesir yang dimotori oleh Inggris. Gubernur Jenderal Muhammad Ali, memerintah secara keras. Rakyat setempat baru dilibatkan dalam pengambilan keputusan saat Muhammad Ali digantikan Ali Khursid Agha. Hingga 1881, tak ada pemimpin yang mengorganisasi upaya perjuangan kemerdekaan Sudan, sampai akhirnya muncul figur Muhammad Ahmad. Pasukannya berhasil menguasai Khartoum pada 26 januari 1885. Namun perjuangan itu dipatahkan oleh pasukan Mesir-Inggris. Kemerdekaan Sudan diperoleh tiga tahun setelah pada Februari 1953, Mesir dan Inggris menyepakati pemberian hak untuk mengatur pemerintahan sendiri.

Pemerintahan di wilayah seluas 2,5 juta km2 dengan penduduk 29 juta itu sendiri tak pernah benar-benar stabil. Perang saudara di Sudan merupakan konflik terpanjang dalam sejarah Afrika. Pada 1972, pernah dicapai kesepakatan damai, tapi itu tak bertahan lama. Konflik menajam antara pemerintah pusat di Sudan Utara yang mayoritas muslim dengan kelompok-kelompok etnis di selatan yang dimotori Tentara Pembebasan Rakyat Sudan (SPLA).

Islam memang menjadi agama yang dianut mayoritas (73 persen) penduduk Sudan. Sementara di selatan, masih banyak yang menganut kepercayaan tradisional (16,7 persen). Sudan berbatasan dengan Mesir dan Libya di utara, Zaire di selatan, Chad dan Ethiopia masing-masing di barat dan timur. Pada Juni 1989, Jendral Omar Hassan Ahmad Al Bashir didukung oleh Dr. Hassan Turabi melakukan kudeta tak berdarah atas pemerintahan presiden Jakfar Numeri. Dwi-tunggal Bashir dan Turabi memimpin Sudan masing-masing sebagai presiden dan ketua parlemen. Besarnya pengaruh Turabi sebagai ketua Partai Kongres Nasional, menimbulkan kecurigaan pada Bashir.

Pada tahun 1991, Pemerintah Sudan mengubah struktur pembagian administratif dari provinsi (mudiriya) menjadi negara bagian federal. Pada 14 Februari 1994, struktur ini dirubah kembali dengan pembentukan 26 negara bagian (wilayah).Pada Desember 1999, Bashir lantas membubarkan parlemen. Tak hanya itu, Turabi juga dipecat dari jabatan ketua partai berkuasa. Turabi membalasnya dengan mendirikan partai baru. Demi mengamankan kekuasannya, Bashir melakukan konsolidasi dan meminta dukungan negara tetangga seperti Mesir, Libya dan negara Barat serta Amerika Serikat. Negara-negara Barat, seperti juga Bashir, memang menilai Turabi sebagai tokoh berbahaya dengan gagasannya menegakkan syariat Islam. Tak heran ketika Turabi masih berpengaruh, Sudan diisolasi dari pergaulan dunia dengan berbagai tudingan miring seperti pelanggaran HAM dan terorisme.

Pertikaian internal di Sudan yang tak kunjung henti, membuat perekonomian negara ini tak berdaya. Apalagi tanah di Sudan utara sangat kering, kecuali sebagian wilayah di sekitar Sungai Nil. Sementara lahan pertanian di Sudan selatan, tak produktif karena jauh dari jalan, pasar dan tak tersentuh sarana transportasi. Padahal Sudan memiliki potensi tambang berupa emas, bijih besi dan tembaga. Sedangkan potensi pertaniannya adalah kapas, gandum, kacang tanah dan hewan ternak. Lonjakan pertumbuhan ekonomi yang cukup berarti terjadi pada 1979, saat ditemukan deposit minyak bumi di Sudan selatan yang kemudian dieksplorasi.

Kesenjangan Sudan utara dengan selatan nyata sekali. Secara etnis, keduanya juga memiliki perbedaan. Sudan utara ditinggali oleh mayoritas keturunan Arab yang meliputi tiga perempat penduduk Sudan. Maka bahasa Arab menjadi bahasa pengantar utama di Sudan. Sementara di selatan orang Negro yang dominan dengan beragam suku.

v Konflik Darfur dan Sudan Selatan

“Konflik Sudan pada saat in merupakan awal dari episode akhir skenario panjang yang dirancang oleh pihak Kristen dan kaum sekularuntuk menguasai Sudan. Juga merupakan bukti makar yang dilakukan oleh orang-orang hipokrit, sekaligus saksi kelalaian kaum muslimin,” tutur Dr.Abdul Aziz Kamil dalam majalah Al-Bayan edisi Muharram 1426. Negara ini memang tak pernah aman dari konflik jauh sebelum ia merdeka dari penjajahan Inggris tahun 1956. Inggris adalah negara pertama yang mengambil peran dalam penyebaran benih fitnah di Sudan Selatan. Sejak Inggris menguasai negeri penguasa sungai Nil kedua setelah Mesir ini pada akhir abad ke-19, mereka telah menutup jalan masuk dakwah islamiah ke Sudan Selatan. Di saat yang sama, mereka melebarkan sayap kristenisasi dengan membiarkan masuk para misionaris untuk menyebarkan paham dan pengaruh Kristen. Setelah Sudan merdeka, usaha kristenisasi ini tetap berlangsung dengan makmur, karena pemerintah Sudan tidak terlalu memperhatikan usaha kristenisasi ini. Yang penting adalah keadaan rakyat Sudan tetap makmur dan sejahtera.

Keadaan ini tetap berlangsung hingga kini. Malah terlihat ada indikasi yang menyatakan dukungan pemerintah Sudan terhadap proses kristenisasi. Hal ini antara lain terlihat dengan dihapusnya undang-undang tentang batas penyebaran agama Kristen yang pernah ditetapkan pada masa pemerintahan Ibrahim Abud (tahun1957—1963). Undang undang ini melarang adanya pembangunan gereja baru di wilayah Sudan Selatan tanpa izin dari pemerintah. Hal ini untuk menghindari terjadinya konflik antaragama dan pembangunan tempat peribadatan Kristen di wilayah umat Islam. Namun kemudian ketentuan ini dihapus atas permintaan Paus Paulus II yang berkunjung ke Sudan tahun 1994. Sehingga terbukalah sebuah kesempatan emas bagi pihak gereja untuk menyebarkan agama Kristen di Sudan dengan seluas-luasnya, dengan tetap berpusat di Sudan Selatan.

Perang ideologi antara penduduk Sudan Selatan yang mayoritas kristen dan Sudan Utara yang sebagian besar muslim mulai tersulut sejak saat itu. Di samping itu, perbedaan ras juga memicu panasnya konflik; penduduk Sudan Selatan didominasi oleh orang-orang Negro sedangkan Sudan Utara banyak dihuni oleh keturunanketurunan Arab. Pihak musuh yang dikomandoi oleh kaum Yahudi memanfaatkan kesempatan ini untuk mempertajam konflik dengan mengubah ‘topik konflik’ dari agama dan ras menjadi konflik politik dan militer. Hal ini melihat besarnya potensi Sudan untuk kepentingan Yahudi mewujudkan angan mereka mendirikan negara Israel Raya. Dr. Abdul Aziz Kamil menyatakan bahwa potensi-potensi tersimpan yang dimiliki Sudan itu antara lain:

Pertama, Sudan adalah negara yang terluas di benua Afrika dan wilayah tersubur di kawasan negara Arab. Hal ini memungkinkan adanya pemberdayaan sumber daya alam yang lebih dibanding negara-negara lainnya.

Kedua, Negara Sudan yang saat ini dianggap miskin dan terbelakang, ternyata menyimpan kekayaan alam yang melimpah, seperti adanya kandungan minyak di bagian selatan dan kandungan uranium di bagian barat. Kekayaan yang dapat membawa Sudan menjadi negara kaya dan potensial. Sudan juga masih menyimpan cadangan minyak bumi sebanyak 631,5 juta barel dan 99,11 milyar meter kubik gas alam yang belum tereksploitasi, serta cadangan biji besi dan tembaga dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Saat ini, produksi minyak mentahnya sekitar 500.000 barel per hari.

Ketiga, Sudan berada di posisi strategis lalu lintas perairan Laut Merah. Sebuah posisi yang menguntungkan untuk menguasai perikanan hingga ke jantung Afrika.

Keempat, Sudan adalah penguasa sungai Nil kedua setelah Mesir. Sudan sebenarnya adalah negara subur dengan dua aliran anak sungai Nil yang memberi berkah pertanian yang menjadi pilar utama perekonomian negara.

Kelima, Sudan merupakan gerbang masuknya Islam ke kawasan selatan dan Afrika yang kini menjadi tujuan program tanshiriah internasional.

Keenam, Sudan adalah satu-satunya Negara Arab yang berani menyuarakan syiar jihad dalam setiap pertempuran menghadapi musuh, di saat kata-kata jihad kini sering dikonotasikan dengan kelompok teroris.

Peristiwa Darfur masih merupakan rentetan dari konflik di Sudan Selatan. Opini yang berkembang selama ini menyebutkan, bahwa konflik ini dipicu oleh keinginan kabilah-kabilah Arab di Darfur untuk mengusir kabilah yang berasal dari ras Afrika yang tinggal di sana. Keinginan ini kemudian berujung dengan pembentukan Milisi Junjuwaid oleh kabilah Arab. Sebuah opini yang ingin dicitrakan oleh Washington, ibukota-ibukota Eropa, dan PBB tentang Sudan pada dunia internasional, walaupun tidak sepenuhnya benar. Presiden Al-Basyir menyebutkan dalam wawancara dengan stasiun TV Aljazeera bahwa konflik yang sifatnya rasial memang sudah ada sejak lama dikarenakan oleh banyak sebab. Menurut Muhammad Arafah, masalahnya bukan hanya karena kabilah kabilah dan pertikaian mereka yang tanpa henti, bukan pula kerena milisi Junjuwaid Arab saja, tetapi juga karena ketegangan bersenjata yang diciptakan sebagian kabilah-kabilah yang berasal dari ras Afrika dan karena gerakan-gerakan separatis di barat Darfur (3 gerakan) di mana sebagian orang menamakan mereka dengan Toro Poro, yang terbentuk menjelang aneksasi AS atas Afghanistan pada Oktober 2001 (atau sebelum terbentuknya

Junjuwaid).

Namun demikian, masalah terbesar adalah karena adanya intervensi asing, sebab intervensi lembaga-lembaga misionaris dan intervensi gerakan separatis massa di selatan pimpinan John Garank demi target-target tak diketahui dan demi munculnya dua kelompok Islam, memperkeruh masalah, menyokong gerakan-gerakan separatis di barat Sudan, dan karena tuntutan mereka yang bertujuan agar Darfur diperlakukan seperti di selatan Sudan. Di samping itu, intervensi Negara-negara luar juga sangat kuat. Surat kabar The Washington Post melaporkan bahwa konflik Darfur telah melibatkan banyak pihak, termasuk Amerika Serikat. Hal ini dapat ditelusuri dari peristiwa yang terjadi pada 20 Agustus 1998. Pada hari itu, sejumlah pesawat tempur AS menghancurkan pabrik Asy-Syifa’, pabrik farmasi terbesar di Sudan Selatan. Pemerintah AS yang saat itu dipimpin oleh Bill Clinton menjelaskan, bahwa penyerangan ini dilakukan karena pabrik tersebut diduga memproduksi sejumlah bahan yang digunakan untuk membuat senjata kimia. Pejabat AS meyakini keberadaan pabrik itu mempunyai koneksi dengan Osama bin Laden. Sebuah dugaan yang tidak bisa dibuktikan. Peristiwa serangan AS ke pabrik Asy-Syifa’ itu mendapatkan kecaman dari berbagai pihak. Aksi brutal AS di Sudan tersebut sangat mengerikan dan memakan banyak korban sipil yang mati akibat ketiadaan obat. Meski tidak ada hubungan antara tragedi kemanusiaan Sudan saat ini dengan peristiwa pengeboman itu, tetapi ada sejumlah hal yang harus dipertimbangkan berkaitan dengan pengeboman tersebut.

Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan resolusi kepada pemerintah Sudan untuk menyerahkan 51 tersangka dalam kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan yang umumnya melibat pejabat militer Sudan dan anggota milisi Junjuwaid, dan menyerahkannya ke Mahkamah Pengadilan Internasional (ICC). Namun hal ini mendapatkan tantangan keras dari pemerintah Sudan. Mereka bersikeras untuk menyelesaikan segala permasalahan di dalam negeri tanpa campur tangan pihak asing sedikitpun. Presiden Al-Basyir bahkan menegaskan pada pidatonya tanggal 2 Mei lalu bahwa pemerintah Sudan tidak pernah takut dengan Inggris, Amerika, dan Dewan Keamanan.

Yang juga perlu diketahui adalah kawasan Darfur yang tereletak di bagian barat, menguasai seperlima wilayah Sudan, sementara Sudan Selatan mencakup seperempat wilayah. Sehingga bila konflik ini terus berlanjut lalu berakhir dengan pemisahan diri kaum pemberontak dari kekuasaan pemerintahan Republik Sudan, maka yang tersisa dari Sudan hanya akan tinggal setengahnya saja.

v Antara Israel dan Tentara Pemberontak

Hubungan antara pasukan pemberontak di Sudan Selatan yang ingin memisahkan diri dari negara Sudan dengan Israel, telah terbina jauh sebelum John Garank, pimpinan kaum pemeberontak, muncul ke pentas politik Sudan. Sebuah upaya penguasaan Sudan, telah dirintis oleh kaum Yahudi sejak tahun 50-an. Saat itu, Yahudi mulai membina hubungan dengan penduduk Sudan Selatan dengan banyak memberikan bantuan kemanusiaan kepada penduduk di Selatan dan sebagian penduduk di utara Sudan. Pada tahun 60-an, Israel mulai melancarkan provokasi kepada penduduk untuk melakukan pemberontakan. Tidak hanya itu, mereka juga mempersenjatai penduduk Sudan Selatan dengan berbagai persenjataan militer dan mendirikan akademi militer untuk para pemuda Sudan di Ethiopia, Uganda, dan Kenya. Bahkan tentara dan perwira Israel mendirikan karantina khusus untuk melatih pemuda-pemuda Sudan, dengan mengambil tempat di dalam negeri Sudan. Pada pertengahan tahun 70-an, kaum Yahudi melakukan penambahan stok senjata untuk para tentara Sudan yang kemudian mereka gunakan untuk membantai kaum muslmin di sana. Mendekati paruh waktu tahun 80-an, terbentuklah pasukan tentara Sudan keluaran akademi militer Israel. Sepanjang tahun 80-an ini, negara-negara tetangga, seperti Kenya dan Uganda, turut memberikan andil politik dalam mengokohkan kepemimpinan John Garank di Sudan Selatan. Tahun 90-an, tentara Israel memberikan tambahan perangkat senjata militer modern dan mutakhir untuk kepentingan perang. Genderang perang pun semakin kencang terdengar sejak saat itu. Suaranya membahana ke seluruh penjuru dunia. Amr Musa, sekretaris perkumpulan liga arab yang juga seorang pengamat politik, setelah terjadinya penyerangan Amerika ke Irak, menegaskan bahwa kondisi Irak saat ini tidak lebih parah daripada kondisi yang akan dihadapi Sudan akan datang. Dan benar, tak lama setelah itu meletuslah tragedi Darfur di Sudan Barat.

Pengotak-ngotakan negara Arab yang dilakukan oleh kelompok Yahudi merambah jauh ke dalam negeri Sudan. Pemberontakan demi pemberontakan yang terjadi hanya sebagi langkah awal untuk menjadikan Sudan terpecah belah yang tentu berpengaruh pada kondisi negara negara Arab di timur tengah. Perjanjian damai yang terjadi kemudian tidak menjadi indikasi bahwa negara Sudan akan kembali bersatu. Malah justru dari sinilah pemecahan itu dimulai.

Perjanjian yang diadakan pada hari Ahad, 28 Dzulqadah 1425/9 Januari 2005, antara pemerintah Sudan dengan Sudan People’s Liberation Army (SPLA) yang dipimpin oleh Dr. John Garank, telah menyepakati adanya referendum gencatan senjata antar kedua belah pihak dan memberikan kesempatan otonomi daerah kepada pihak Sudan Selatan untuk menjalankan pemerintahan sendiri selama enam tahun. John Garank sendiri diangkat menjadi wakil presiden pertama Sudan dan memegang kepemimpinan tertinggi di Sudan Selatan. Maka terjadilah negara dalam negara. Ketika pihak Aljazeera mengkonfirmasikan hal ini dengan Presiden Al-Basyir, beliau menegaskan bahwa seluruhnya tetap berada dalam lingkup Republik Sudan tapi dengan dua macam undang-undang pemerintahan. Hal ini telah terjadi sejak tahun 1964.

Jangka waktu enam tahun ini bisa menjadi kesempatan emas bagi kaum pemberontak untuk melebarkan sayapnya. Dalam rentang waktu ini mereka bebas mengeruk kekayaan alam dan gas bumi yang berada di Sudan Selatan tanpa ada campur tangan dari pemerintah. Enam tahun adalah waktu yang sangat panjang untuk mempersiapkan segala sesuatu di bidang militer, ekonomi, sosial, politik internasional, dan di bidang lainnya. Mereka pun dapat menghantam dan menyudutkan pemerintah Sudan di mata dunia dengan menyebarkan berbagai opini dan isu, dibantu Amerika dan Israel. Sehingga ketika masa enam tahun selesai, prediksi Dr. Abdul Aziz, John Garank tidak akan memberikan kekuasaan wilayah Sudan Selatan kepada pemerintah, namun akan balik menyerang dengan segala kekuatan milter yang dimilikinya bersama sekutunya.

Tidak ada komentar: