Minggu, 18 November 2007

Marxisme dan Perjuangan Melawan Imperialisme

Hampir 16 tahun berlalu sejak George Bush, waktu itu presiden Amerika Serikat, mengucapkan pidatonya yang terkenal, "Tatanan Dunia Baru". Itu terjadi tahun 1991. Saat melancarkan Perang Teluk, kekuatan Imperialis yang paling utama di muka bumi menjanjikan sebuah dunia tanpa peperangan, tanpa kediktatoran, dan &endash;tentu saja&endash; sebuah dunia yang sepenuhnya berada di bawah kontrol satu-satunya polisi dunia yang berkuasa penuh Amerika Serikat. Setelah keruntuhan Stalinisme, Imperialisme AS benar-benar mengira bahwa dunia akan dengan lekatnya berada di bawah perintah mereka dan mereka akan bisa mendikte nasib tiap negara. Semua konflik di dunia diselesaikan melalui dialog dalam semacam "Pax Americana". Nyatanya, sekarang semua impian ini telah tereduksi menjadi puing-puing semata.

Dominasi imperialisme yang sifatnya menghancurkan di dalam arena dunia, yang makin kuat saja setelah keruntuhan Stalinisme, berarti terjadinya eksploitasi yang makin parah terhadap Dunia Ketiga secara keseluruhan. Dominasi negara-negara metropolitan masih lebih besar daripada di masa lalu. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa birokrasi-militer lama yang langsung dikontrol oleh individu boss kolonial telah diganti tempatnya oleh dominasi kolektif atas dunia kolonial oleh negara-negara eksploiter yang kaya raya melalui mekanisme pasar. Di bawah panji "globalisasi" dan "pembukaan pasar" imperialisme melakukan pemaksaan melalui kebijaksanaan penurunan tarif dan swastanisasi berbagai prasarana di seluruh Dunia Ketiga. Kebijakan-kebijakan ini adalah satu akibat dari krisis kapitalisme di Dunia Barat yang memaksa negara-negara imperialis tadi untuk terus mencari pasar dan lapangan investasi baru. Tetapi mereka menetakkan kebangkrutan bagi industri-industri lokal di negara-negara yang mereka datangi, industri-industri yang tak dapat melawan berbagai perusahaan multinasional raksasa. Situasi ini telah memproduksi konsekuensi-konsekuensi yang paling membinasakan dan telah menghasilkan akibat-akibat yang sebelumnya tidak terlihat oleh Presiden Bush.

Secara tipikal, para pembuat strategi AS mempunyai pandangan pendek. Mereka gagal mengerti apa yang telah diterangkan oleh Trotsky bahkan sebelum Perang Dunia Kedua. Trotsky meramalkan bahwa Amerika Serikat akan muncul dengan jayanya dari hiruk pikuk perang yang akan tiba, tetapi sebagai akibatnya Amerika Serikat memasang dinamit di pondasinya sendiri. Saat ini kita melihat bahwa ramalan ini menjadi kenyataan. Kolapsnya Uni Soviet telah merubah bentuk relasi di antara pemilik kekuasaan, menjadikan USA sebagai satu-satunya negara adi daya di dunia. Dalam sejarah umat manusia, tidak pernah ada satu negara tunggal yang menikmati dominasi ekonomi dan militer sedemikian rupa. Malahan krisis yang datang terus-menerus adalah manifestasi bahwa imperialisme AS adalah si Colossus berkaki lempung. Meskipun mengalami kemenangan militer dalam Perang Teluk, AS tidak mampu menggeser Saddam Hussein. Usahanya dalam intervensi militer melawan milisi cakar ayam di Somalia berakhir dalam satu kekalahan memalukan. Sekarang krisis di Asia dan khususnya berbagai kejadian di Indonesia telah menempatkan revolusi secara ajeg dalam agenda. Di Selatan, Amerika Serikat menghadapi suatu krisis menyeluruh di Amerika Tengah dan Amerika Latin dengan berbagai gejolak sosial politik di Meksiko, sebuah perang gerilya yang ber kepala batu di Kolombia, dan sebuah situasi eksplosif di Argentina dan Brazil. Ke mana saja ia mengarahkan pandangan, imperialisme AS dapat melihat bahwa tidak ada satupun rezim borjuis bisa stabil. Seluruh dunia telah masuk ke dalam periode paling kejang dalam kurun waktu ratusan tahun.

BEBAN HUTANG

Eksploitasi berlebihan terhadap Dunia Ketiga, yang makin intensif setelah keruntuhan Stalinisme, mempunyai arti terjadinya perpindahan kekayaan dari negara-negara ini ke peti penyimpanan uang milik perusahan-perusahaan multinasional raksasa dan bank-bank. Hal ini dapat terlihat pada beban hutang yang telah mencapai proporsi yang bahkan sebelum pertemuan G-8 di Birmingham (Mei 1998) telah ada beberapa pembicaraan mengenai inisiatif keringanan pinjaman bagi beberapa negara termiskin. Di akhir pertemuan itu tidak ada satupun inisiatif disetujui. Bank Dunia &endash;tanpa membicarakan pengembalian hutang yang sebenarnya, juga telah memulai sebuah program HIPC (Highly Indebted Poor Countries) yang bertujuan untuk memotong beban hutang 41 negara yang membelanjakan lebih dari 20 persen pendapatan ekspor mereka untuk pembayaran bunga hutang.

Semua rencana ini tidaklah lahir dari niat baik dan kemurahan hati para eksekutif Bank Dunia dan IMF. Ada tiga alasan utama untuk hal ini. Yang paling pertama adalah sangat tidak mungkin bahwa negara-negara ini akan pernah mampu membayar hutang mereka. Oleh karena itu, mereka (IMF dan Bank Dunia) telah memutuskan untuk mengenali realita dan membuat pemerintahan-pemerintahan dunia Barat mengembalikan apa yang dipinjamnya dari bank-bank penyandang dana dengan uang para pembayar pajak. Dalam cara ini bank tidak pernah kalah. Tujuan utama dari inisiatif-inisiatif keringanan hutang ini adalah, di satu sisi, untuk memaastikan bahwa para bankir memperoleh kembali uang mereka, dan di sisi lain, untuk mengangkat negara-negara yang banyak hutang ini ke suatu posisi di mana mereka bisa meminta lebih banyak pinjaman! Kedua, jumlah hutang yang dipinjam oleh negara-negara penghutang terbesar ini, sebagai sebuah persentase dari total pinjaman negara-negara yang dulunya negara-negara jajahan, adalah sangat kecil. Dan yang ketiga, rencana-rencana keringanan tadi datang bersama-sama dengan banyak sekali syarat-syarat terkait. Negara-negara yang terlibat harus melaksanakan "rekomendasi-rekomendasi" (yaitu, perintah) dari IMF.

Rencana Penyesuaian Struktural (SAPs, Structural Adjustment Plans) IMF yang terkenal sekarang telah berjalan cukup lama hingga dapat mengetahui apa konsekuensi-konsekuensinya. Sebagai satu contoh, Zambia adalah sebuah negara yang relatif berkembang dengan sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit, pelayanan pendidikan, serta sebuah infrastruktur modern yang dibangun terutama di atas basis pendapatan dari pertambangan tembaga. Sepuluh tahun pelaksanaan "penyesuaian struktural" menggiring angka harapan hidup jatuh dari 54,4 tahun di tahun 1991 menjadi 42,6 tahun di tahun 1997. Angka melek huruf berkurang, dan sebagai akibat langsung dari naiknya biaya rumah sakit sekarang tercatat 203 kematian bayi per 1.000 kelahiran dibandingkan 125 di tahun 1991. Akses mendapatkan air bersih juga berkurang, dan 98,1 persen jumlah penduduk hidup atas 2 USD per hari atau malah kurang. Hutang negara mewakili 225 persen GDP (Gross Domestic Product). Oleh karena itu, sama sekali tidak mengejutkan bahwa baru-baru ini terjadi kerusuhan pangan di Zambia &endash; juga di negara-negara yang lain, seperti Zimbabwe dan Tanzania.

Beban hutang negara-negara termiskin di dunia menghabiskan 94 persen pendapatan ekonomi per tahun mereka. Untuk negara-negara yang termasuk dalam program HIPC gambaran ini berkisar 125 persen. Dibandingkan pendapatan hasil ekspor, persentase hutang telah mencapai tingkat yang belum pernah terdengar: Somalia 3.671 persen, Guinea-Bissau 3.509 persen, Sudan 2.131 persen, Mozambik 1.411 persen, Ethiopia 1.377 persen, Rwanda 1.374 persen, Burundi 1.131 persen. Dan jauh dari membaik, situasi secara nyata malah makin memburuk. Tahun 1980 total jumlah hutang dari negara-negara belum berkembang adalah 600 miliar USD. Di tahun 1990 jumlah itu naik hingga 1,4 triliun USD dan tahun 1997 jumlah itu secara mengagetkan menjadi 2,17 triliun USD. Adalah penting untuk mencatat bahwa dalam periode 1990-97, ketika jumlah hutang total naik 770 miliar US dollar, negara-negara ini sebenarnya telah membayar 1,83 triliun US dollar hanya untuk bunga hutang. Sebuah gambaran yang lebih bersifat skandal licik akan muncul jika kita membandingkan pembayaran bunga hutang dengan bantuan yang diterima negara-negara ini, yaitu untuk satu dollar yang mereka terima dalam bantuan, mereka membayarkan kembali 11 dollar untuk bunga hutang.

Akibat-akibat situasi ini jelas. Situasi di seluruh Afrika Sub-Sahara adalah mimpi buruk. Menurut The Economis (6/6/98), "Hampir setengah dari 760 juta orang yang di benua ini 'amat sangat miskin', bertahan hidup, diungkapkan oleh ADB (Bank Pembangunan Afrika), atas kurang dari 1 dollar per hari. Walaupun terdapat tanda-tanda yang membesarkan hati dalam beberapa bagian benua, rata-rata pertumbuhan GDP nyata turun di tahun 1997 menjadi 3,7 persen dari 5 persen di tahun sebelumnya. Kesembuhan Afrika masih rapuh dan tatap sama rentan dengan sebelumnya terhadap harga-harga komoditas dan iklim ekonomi yang memburuk. Globalisasi perdagangan dunia... dapat menekan ekonomi benua ini jauh melampaui margin batasnya. Menurut Bank Dunia Afrika hanya menarik minat 1,5 persen investasi langsung milik penanam modal asing di tahun 1996. Penerima bantuan terbesar, memperoleh 32 persen dari jumlah total, adalah Nigeria yang, terpisah dari fakta mempunyai persediaan minyak bumi, tidak mereformasi ekonominya dalam cara di mana minyak bumi dikatakan oleh Bank Dunia sebagai essensial untuk menarik investasi asing." Meningkatnya tingkat pemiskinan dari penduduk di sebagian besar dunia kolonial telah memberikan kenaikan tajam pada meningkatnya jumlah kriminalitas, pasar gelap, dan "ekonomi informal". Dalam beberapa kasus, pasar gelap mewakilkan jumlah yang lebih besar dalam bidang ekonomi dibandingkan pasar resmi dan pasar gelap ini merembes ke semua bidang aparatus negara. Mereka mencoba melindungi kepentingan mereka dalam arena politik melalui kekuatan-kekuatan kaum fundamentalis dan "populis". Semua ini adalah kekuatan-kekuatan ekonomi yang dahsyat yang dalam banyak kasus memiliki kepentingan-kepentingan yang lalu menimbulkan konflik dengan kepentingan-kepentigan imperialisme. Jadi, di semua tingkatan, pembusukan kapitalisme merusak apa yang menjadi hal paling dasar bagi eksistensi umat manusiia di dua per tiga planet. Sebagaimana Lenin ingatkan, perpanjangan eksistensi kapitalisme menandai "horor tanpa akhir".

PERAN KELAS PEKERJA

Marx, Engels, dan Lenin senantiasa memberi penekanan pada peran terdepan dari kaum proletariat di dalam revolusi. Mereka menjelaskan bahwa hanya kelas pekerja yang bisa mengusung revolusi kaum sosialis. Tak ada kelas lain yang dapat memenuhi peran ini. Mengapa begini? Ini bukanlah sebuah cetusan pikiran yang tiba- tiba atau sebuah asumsi arbiter. Ia berbasis pada peran para pekerja dalam produksi, dan kenyataan bahwa partisipasi dalam produksi kolektif ("sosial") berarti bahwa kelas pekerja sendirian membangun sebuah kesadaran sosialis (kolektifis). Ini bukan kasus dengan kelas lain. Kaum tani adalah sebuah kelas para pemilik kecil. Bahkan para petani yang tak bertanah, kaum proletariat pedesaan, sering sekali mendambakan pemilikan tanah; jadilah slogan "Tanah untuk penggarapnya" &endash;yang, meski ini merupakan signifikasi revolusioner yang luar biasa, semboyan ini memiliki kandungan borjuis, bukan sosialis. Para mahasiswa dan kaum cendekiawan mempunyai sebuah tendensi yang kuat terhadap individualisme borjuis kecil, yang seringkali memunculkan dirinya bahkan ketika mereka mencoba mengadopsi posisi revolusioner.

Melalui pengalamannya, kaum proletariat belajar untuk memahami organisasi kolektif dan disiplin. Inilah hasil dari sekolah keras produksi dan eksploitasi kapitalis, yang mempersiapkan para pekerja untuk menghadapi perjuangan kelas. Senjata-senjata wajar milik kaum proletar adalah metode-metode perjuangan massa &endash;pemogokan, pemogokan umum, demonstrasi massa, yang bertindak sebagai sebuah sekolah yang mempersiapkan kelas ini untuk tugas utamanya, yaitu mengambil alih jalannya masyarakat ke dalam tangannya. Gerakan kaum pekerja di semua tempat adalah sekolah demokrasi. Sebelum para pekerja itu memutuskan untuk melakukan pemogokan, terdapat diskusi demokratis di mana di dalamnya pendapat yang saling bertentangan dapat terdengar. Tetapi sekali telah diambil pilihan suara, kaum bekerja bertindak sebagai satu kesatuan. Mereka yang telah mencoba menghianati keputusan demokratis para pekerja dan mengacaukan pemogokan diperlakukan sebagai buruh penghianat yang memang harus dihukum. Unjuk rasa adalah ekspresi kongkrit dari kehendak mayoritas. Selama berlangsungnya pemogokan kaum pekerja berpartisipasi, bekerja, dan berdiskusi. Setiap pekerja mengetahui bahwa ia belajar lebih banyak selama satu hari pemogokan dibandingkan satu tahun kehidupan "normal". Akibatnya, setiap pemogokan mengandung elemen-elemen revolusi dan sebuah revolusi adalah apa yang teradapat dalam sebuah pemogokan dalam skala besar dan luas. Banyak proses-proses yang muncul di dalam kelas bersifat analog, meskipun dua hal tadi berbeda secara kualitatif. Tetapi di masing-masing keduanya elemen kuncinya adalah partisipasi aktif dan sadar dari kelas pekerja, yang mulai mengambil alih nasibnya ke tangannya sendiri daripada menyerahkannya kepada orang lain &endash;para pemimpin serikat pekerja, anggota parlemen, anggota dewan, dan birokrat. Inilah esensi sosialisme atau, lebih tepatnya, esensi kekuatan pekerja.

Sosialisme adalah demokratis atau ia bukan apa-apa. Sejak awal mula revolusi sosialis, mestilah ada rezim yang paling demokratis, sebuah rezim yang akan berarti bahwa untuk pertama kalinya semua tugas-tugas mengenai menjalankan industri, masyarakat, dan negara akan berada di tangan mayoritas masyarakat, kelas pekerja. Melalui komite-komite mereka yang dipilih secara demokratis (soviets), yang dipilih secara langsung di tempat kerja serta tunduk atas recall sewaktu-waktu, para pekerja akan menjadi tuan dari masyarakat bukan hanya namanya saja, tetapi juga dalam kenyataan. Ini adalah posisi kaum pekerja di Rusia setelah Revolusi Oktober. Marilah kita ingat kembali bahwa Lenin meletakkan 4 syarat utama bagi sebuah negara kaum pekerja &endash;yaitu, untuk periode transisi antara kapitalisme dan sosialisme:

1) pemilihan umum yang bebas dan demokratis dengan hak recall terhadap semua pejabat

2) tidak ada pejabat yang pantas menerima gaji yang lebih tinggi daripada seorang pekerja yang ahli

3) tidak ada tentara yang berjaga kecuali rakyat yang dipersenjatai

4) secara bertahap, semua tugas-tugas menjalankan negara harus dilakukan oleh massa di atas basis yang bergilir.

Ketika setiap orang menjadi birokrat pada gilirannya, maka tidak ada orang yang menjadi birokrat. Atau, sebagaimana Lenin menyatakan, "Sembarang penggodok ide harus bisa menjadi perdana menteri."

Hanya di atas basis demikianlah masyarakat dapat mulai bergerak dalam arahan sosialisme &endash;tahap tertinggi masyarakat manusia yang Engels gambarkan sebagai loncatan kemanusiaan dari wilayah keharusan menuju wilayah kebebasan. Secara jelas sebuah perkembangan yang demikian menuntut adanya sebuah perkembangan yang tinggi dalam kekuatan-kekuatan produktif. Itulah mengapa Marx dan Engels berpikir bahwa revolusi sosialis akan bermula di Perancis, dilanjutkan di Jerman, dan berakhir di Inggris. Pada waktu itu kelas pekerja hanya ada di negara-negara ini. Marx dan Engels, dan bahkan Lenin sampai pada tahun 1917, bahkan tak membayangkan kemungkinan kelas pekerja pertama kali muncul sebagai kekuatan justru di sebuah negara terbelakang. Sosialisme menuntut sebuah tingkat tertentu dari perkembangan industri, pertanian, ilmu pengetahuan, dan teknik, di dalam bingkai kerjanya. Hanya di atas basis inilah para pekerja bisa memiliki waktu bebas secukupnya &endash; di atas basis pengurangan hari kerja&endash; untuk berpartisipasi dalam menjalankan masyarakat dan negara.

Bagaimanapun, situasi telah berubah secara radikal setelah kematian Marx dan Engels, disebabkan oleh kedatangan imperialisme, tahap tertinggi dari kapitalisme sebagaimana dianalisa oleh Lenin dalam bukunya yang terkenal dengan judul sama. Lenin menjelaskan bahwa satu dari gambaran-gambaran utama dari imperialisme adalah ekspor kapital dari negara-negara maju ke negara-negara kolonial dan negara-negara semi-jajahan. Di atas basis hukum 'perkembangan gabungan dan tak seimbang', sebuah kelas pekerja yang perkasa tumbuh di negara-negara terbelakang seperti Rusia yang Tsarist, sebuah fakta yang tidak mengubah karakternya sebagai sebuah negara yang terbelakang, semi feodal, dan semi jajahan. Persoalan-persoalan utama dari polemik di antara tendensi-tendensi yang berbeda dari gerakan buruh Rusia sebelum 1917 adalah setepatnya merupakan karakter dari Revolusi Rusia dan relasi antar kelas dalam revolusi. Tak dapat disangkal, teori yang mengantisipasi dan menjelaskan apa yang sungguh-sungguh terjadi di tahun 1917 telah dikerjakan oleh Trotsky.

Tidak ada komentar: