Sabtu, 17 November 2007

ASEAN, integrasi, dan politik elitis

Semua orang mungkin tahu keberadaan ASEAN, ada banyak orang bermimpi bahwa ASEAN akan menjadi fondasi dasar integrasi menyeluruh ala Uni Eropa. Tapi harus diingat, pada dasarnya, ASEAN, seperti halnya Uni Eropa, terbentuk dari kerjasama ekonomi yang belum memikirkan integrasi sebagai tujuan utama pembentukan kerjasama kawasan.

Uni Eropa memiliki fundamen European Steel and Coal Community yang memang pada awalnya dibentuk dengan tujuan membuat suatu badan yang supranasional. Namun tidak halnya dengan ASEAN, mungkin karena negara-negara anggota ASEAN saat itu baru memperoleh kemerdekaannya setelah beberapa tahun atau beberapa dekade, ide Supranasionalisme tidak dibawa karena menyinggung isu kedaulatan. ASEAN dibentuk dengan prinsip non intervensi yang membuat badan ini secara institusional, sama lemahnya dengan Majelis Umum PBB, sebuah badan intergovernmental yang tidak memiliki kekuatan mengikat.

Pada tahun 1992, ide Asean Free Trade Area diusungkan agar meningkatkan volume perdagangan antar sesama negara ASEAN. Perjanjian yang ditandangani di Singapura ini ditujukan agar pada tahun 2003, tarif impor tiap negara bisa berkisar antara 0-5%. Dan komitmen itu terpenuhi setidaknya, dari seluruh anggota ASEAN, hanya Laos yang menetapkan tarif impor sebesar 5%, sedangkan anggota lain sudah menurunkan nilainya yang makin mendekati 0%.

Namun untuk Integrasi secara keseluruhan, tampaknya masih jauh. Pasalnya, komoditas dan kesenjangan yang dimiliki antar sesama negara ASEAN cukup jauh. Lihatlah perbedaan GDP per kapita Singapura yang mendekati 30,000 dollar dengan milik Myanmmar yang hanya 200 dollar. Ada kesenjangan pendepatan yang mencapai 150 kali lipat.

Emmanuel Wallerstein pernah menulis mengenai World System Theory. Di dunia ini, negara bisa dibagi menjadi tiga, yakni core state, periphery state, dan semi-periphery state. Core state umumnya diasosiasikan sebagai negara-negara maju yang mengimpor komoditas primer dari periphery state, dan semi-periphery state berakhir menjadi negara-negara manufaktur yang menengahi antara periphery state dan core state.

Jika Integrasi ASEAN dipaksakan, mungkin hal itulah yang terjadi. Statistik ASEAN mengatakan bahwa Singapura dan Brunei merupakan negara terkaya di kawasan (walau Brunei cukup tertinggal dibandingkan Singapura, Foregin Direct Investment-nya termasuk kecil) dan berpotensi menjadi core state. Malaysia, Thailand, Indonesia, Filipina menjadi negara semi periphery, dan empat negara tersisa, Kamboja, Laos, Myanmmar, dan Vietnam akan menjadi periphery.

Jika integrasi dipaksakan, kemungkinan besar, akan terjadi kesenjangan yang semakin besar antara negara ASEAN. Hal yang ironis seandainya negara ASEAN saling melakukan kolonialisasi dengan tetangganya sendiri.

ASEAN pun kerap dikritik akan sifat tertutup dan sarat dengan politik elitis. Anda pernah mengunjungi situs ASEAN? Pernakah terpikirkan pertanyaan kenapa ASEAN tidak mau melokalisasikan situs miliknya ke dalam 10 bahasa anggota negara ASEAN? Memang, bahasa Inggris diakui sebagai lingua franca bahasa ASEAN yang secara historis dijajah oleh negara-negara berbeda, namun apakah ini berarti penduduk yang tinggal di ASEAN tidak memiliki hak untuk mengetahui ASEAN lebih dalam? Untuk mengalami interaksi antar kultur pada sesama negara ASEAN?

Politik elitis memang masih merupakan ciri utama ASEAN. Ketidakadanya keinginan membuat ASEAN membumi seperti Uni Eropa akan membuat integrasi kultural akan sangat lama, atau mungkin tak akan pernah terjadi.

Tidak ada komentar: