Sabtu, 17 November 2007

Dampak bantuan Tsunami

Tsunami Asia tanggal 26 Desember 2004 telah menghancurkan kehidupan dan hampir seluruh komunitas pantai di kawasan Samudera India. Dalam hitungan menit gempa bumi yang berkekuatan 9,0 skala Richter melanda daerah pantai barat Sumatra bagian Utara di Indonesia, tsunami terbesar pertama menghantam kawasan pantai ini dengan dampak yang cukup parah, khususnya antara Banda Aceh dan Meulaboh di wilayah Aceh. Tekanan yang cukup dahsyat dari dasar laut juga menimbulkan tsunami yang menghantam komunitas pantai di beberapa daerah di Thailand, Burma, Malaysia, Sri Lanka, India bagian timur dan Maladewa dengan kerugian harta benda dan nyawa yang luar biasa. Setelah bencana alam ini, sekitar 290.000 orang tewas atau hilang, dan lebih dari satu juta orang mengungsi di 12 negara yang menjadi korban.

Dengan banyaknya pemberitaan oleh media massa di seluruh dunia tentang bencana ini, berbagai bantuan kemanusiaan secara besar - besaran dan bantuan dari berbagai perusahaan swasta maupun secara pribadi, dari berbagai LSM dan dari pemerintah pusat negara yang menjadi korban maupun negara – negara lainnya pun berdatangan. Berbagai ahli internasional di bidang koordinasi dan pengiriman bantuan serta pertolongan dalam kondisi tangggap darurat kemanusiaan yang cukup kompleks dikerahkan dan disebarkan ke daerah-daerah yang dilanda bencana. Di banyak tempat, besarnya skala kerusakan menimbulkan permasalahan logistik yang cukup sulit terutama dalam pengiriman bantuan kemanusiaan yang mendasar bagi masyarakat korban dan dalam beberapa kasus pihak militer nasional dan militer asing dibutuhkan untuk mengakses masyarakat yang menjadi korban. Tantangan besar lainnya dalam tahap tanggap darurat juga muncul dari banyaknya masyarakat yang mengungsi. Hal ini khususnya terjadi di Aceh, mereka yang selamat banyak yang pindah dari daerah yang terkena musibah ke tempat – tempat umum maupun ke tengah – tengah komunitas masyarakat lainnya, keluarga penampung, tenda – tenda penampungan sementara serta rumah-rumah sementara lainnya.

Pemetaan situasi dan lokasi keberadaan mereka yang selamat tidaklah mudah. Pemerintah pusat, para donor internasional dan organisasi-organisasi kemanusiaan mengerahkan cukup banyak energi untuk mendata ruang lingkup dan luasnya dampak tsunami – antara lain meliputi rumah-rumah yang rusak, hewan ternak yang musnah dan mata pencaharian yang hilang; seperti kehilangan harta benda, hak atas tanah dan dokumen-dokumen penting lainnya, serta kerusakan berbagai infrastruktur publik. Perkembangan penilaian kerusakan, survey dan pemetaan, serta gambaran berdasarkan pengetahuan para ahli, memberikan panduan dalam penyusunan rencana rehabilitasi dan rekonstruksi dari para donor dan pemerintah pusat.

Selain isu-isu koordinasi dan kemampuan penanganan tanggap darurat kemanusiaan yang cukup kompleks, cukup penting pula untuk memfokuskan kembali perhatian kepada ruang lingkup, arah dan langkah-langkah dalam upaya pemberian bantuan dan pelaksanaan rekonstruksi yang masih melekat dalam hubungan kekuatan yang kompleks yang terbentuk oleh situasi politik nasional dan daerah di wilayah yang terkena bencana. Perbedaan respons / tanggap darurat terhadap dampak langsung yang luar biasa dari bencana alam yang dahsyat di 12 negara ini, dengan perbedaan dinamika politik, ekonomi dan sosial mereka masing-masing, telah membawa dampak yang luar biasa terhadap situasi politik keseharian dalam pelaksanaan upaya kemanusiaan baik secara amatir maupun profesional, serta lokal maupun internasional.

Ditengah-tengah bencana alam dan keadaan darurat yang sebelumnya telah cukup kompleks banyak korban tsunami yang selamat justru menghadapi berbagai kendala. Identitas para IDP dari korban tsunami yang selamat pun sangat rentan dipolitisir dan diperebutkan. Dengan definisi mengenai istilah ‘IDP’[1] yang meliputi mereka yang oleh karena bencana alam terpaksa meninggalkan rumahnya, maka pejabat pemerintah Indonesia dan organisasi-organisasi kemanusiaan internasional terkadang menyebut mereka sebagai ‘tuna wisma’. Perbedaan tersebut memiliki implikasi yang sangat penting untuk pengidentifikasian hak-hak dan jaminan perlindungan dan bantuan bagi masyarakat korban, serta peranan dan kewajiban pemerintah pusat maupun daerah yang ditetapkan dalam UN Guiding Principles on Internal Displacement.

Di Thailand[2], dengan pendekatannya yang bersifat menghukum bagi sekian banyak pengungsi dan penduduk buruh migran dari negara tetangga yaitu Burma, menunjukkan adanya bukti diskriminasi secara de facto oleh pejabat pemerintah lokal dan warga Thailand terhadap warga Burma yang merupakan korban tsunami yang selamat di beberapa provinsi bagian selatan. Dengan dideklarasikannya posisi pemerintah Thailand yang begitu mandiri dalam pengkoordinasian dan pengiriman bantuan darurat pasca tsunami, telah memberikan peluang yang tak tertandingi bagi Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, dan partai politiknya Thai Rak Thai (Rakyat Thai mencintai Thailand) untuk melakukan kampanye pemilu pada tanggal 6 Pebruari 2005, dimana para buruh migrant Burma pun relative terisolir dari sumber-sumber alternatif bantuan dan dukungan, termasuk bantuan dari pemerintah mereka sendiri yang dikoordinir oleh pihak militer. Para buruh migrant Burma tidak dimasukkan dalam pendistribusian bantuan darurat dan pelaksanaan program bantuan dari pemerintah Thailand oleh para pejabat lokal, dan target penangkapan ‘para buruh migran illegal’ oleh polisi setempat juga merebak pascatsunami, yang dalam beberapa kasus dideportasi kembali ke Burma.

Dalam kasus India[3], dimana pemerintah juga menolak berbagai tawaran respons tanggap darurat yang dikoordinir oleh lembaga kemanusiaan internasional, terdapat bukti – bukti diskriminasi yang dilakukan oleh para pejabat lokal maupun masyarakat seperti dalit (disebut juga sebagai mereka ‘yang tak tersentuh’) di sejumlah daerah yang dilanda tsunami. Terperangkap dalam struktur sosial yang berdasarkan tingkatan kasta dan dominasi, menurut laporan, para dalit yang selamat kurang diterima di rumah – rumah maupun di tempat-tempat penampungan sementara (kasta yang lebih tinggi) para IDP dari komunitas nelayan, beberapa dalit bahkan diusir. Terdapat pula bukti bahwa para IDP lainnya menghalangi pejabat pemerintah, staff LSM dan kelompok sosial kemasyarakatan lainnya dalam pendistribusian bantuan darurat untuk para dalit.

Dalam kasus Sri Langka[4], dengan semakin ramainya ahli yang masuk, maka kehidupan pasca-tsunami semakin tampak seperti perusahaan yang sedang diambil alih. Ikan kecil ditelan oleh ikan besar. Struktur masyarakat dan organisasi terabaikan disaat para staff lembagalembaga baru mulai melancarkan operasinya sendiri. Harga pasar local untuk sewa rumah membumbung tinggi dan tingginya nilai mata uang telah mengubah pasar tenaga kerja. Dalam hitungan hari lembaga-lembaga tersebut mengatakan bahwa seakan-akan mereka telah bekerja di Sri Lanka selama berabad-abad dan meyakinkan masyarakat bahwa setelah penilaian awal selesai dilakukan mereka akan segera mengetahui apa yang harus dilakukan. Keyakinan mereka begitu menyesakkan. Salahsatu LSM bahkan mengklaim bahwa mereka akan merehabilitasi semua yang ada di daerah tersebut dalam tempo tiga bulan. Akan tetapi hal tersebut masih belum terealisasi sepenuhnya.

Dimensi penting lainnya dari respons darurat tsunami berasal dari kekuatan strategis militer di beberapa daerah terparah, khususnya di Aceh, provinsi bagian Utara dan Timur Sri Lanka serta Kepulauan Nicobar di India. Aceh telah dimiliterisasi secara besar-besaran dengan ditempatkannya 40.000 tentara sejak ditetapkannya status darurat militer pada bulan Mei 2003. Dengan adanya relokasi secara paksa ke kamp-kamp yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kampanye anti-pemberontakan baru-baru ini,

Peranan pasukan militer Indonesia dalam pendistribusian bantuan darurat pasca-tsunami, serta dalam pengkoordinasian relokasi IDP ke ‘barak-barak’ yang cukup kontroversial, secara serius telah mengancam prinsip-prinsip bantuan kemanusiaan dalam beberapa kasus. Lebih lanjut, pada kasus di Sri Lanka yang merupakan daerah yang ikut dilanda tsunami dengan sebutan ‘daerah yang tidak jelas’ yang berada di sepanjang pantai yang dikontrol oleh Organisasi Pembebasan Macan Tamil Eelam (LTTE), pelaksanaan operasi pemberian bantuan pun terhambat karena pemerintah di Colombo telah melarang keras mekanisme apapun yang ingin melangkahi kewenangan pusatnya. Tidak adanya respons dari pemerintah pusat juga tampak dari kasus Somalia. Dan akhirnya, di kepulauan Nicobar, yang merupakan basis strategis angkatan laut India, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa bantuan tsunami dan berbagai upaya rehabilitasi dilaksanakan oleh pihak militer, dan mereka mengabaikan masyarakat asli yang menjadi korban serta melanggar administrasi masyarakat sipil lokal.

Dengan banyak terlibatnya aktor kemanusiaan dalam pemberian bantuan tsunami dan pelaksanaan rekonstruksi yang mulai mengevaluasi setiap respons, diharapkan bahwa penilaian-penilaian tersebut akan menawarkan perspektif yang cukup kritis dan komparatif terhadap berbagai respons yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang beroperasi di dua daerah bencana atau lebih, yang tentunya harus menghadapi perbedaan dan berbagai tantangan politis yang berbeda pula. Lamanya keberadaaan UNHCR dan badan-badan PBB lainnya di Sri Lanka sebelum tsunami menunjukkan perbedaan yang cukup kontras dengan Aceh, khususnya menyangkut sejauh mana implikasi dari upaya-upaya bantuan yang telah dilancarkan. Kekhawatiran tentang permasalahan dalam pemenuhan hak-hak para IDP akibat bencana untuk mendapatkan perlindungan telah menarik perhatian menyangkut hubungan antara kekuasaan dan politik dimana IDP terikat didalamnya.



[1] Eva-Lotta Hedman, Research Fellow di Refugee Studies Centre, University of Oxford.

[2] www.unhchr.ch/html/menu3/b/a_cescr.htm

[3] K.M. Parivelan (aktivis kemanusiaan, juga bekerja pada kantor UNHCR di Chennai, Tamil Nadu)

[4] Irene Fraser bekerja di Sri Lanka untuk sebuah LSM internasional yang cukup besar.

Tidak ada komentar: