Sabtu, 17 November 2007

pemerintahan masa demokrasi terpimpin

Dalam beberapa referensi menjelaskan bahwa definisi Format Politik, sama dengan sistem politik yaitu: suatu sistem yang dibangun untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam jangka pendek atau jangka menengah yang sebelumnya kurang atau tidak mendapat perhatian dari pemerintahan yang ada. (1) Sebagai contoh yaitu perjalanan sistem politik dari zaman Demokrasi Liberal ke Demokrasi Terpimpin sampai ke Orde Baru.

Dua pengalaman traumatis pada masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin telah mendorong para pendukung Orde Baru untuk membangun sistem politik yang lain dari keduanya, yaitu sistem politik yang dikehendaki oleh Undang Undang Dasar 1945, yang dikembangkan menjadi suatu sistem politik yang sesuai dengan tuntutan Demokrasi Pancasila. Proses perpolitikan ke arah mencapai tujuan itulah yang disebut sebagai format politik Indonesia.

Salah satu ciri khas dari format politik pada kedua masa tersebut adalah peranan yang dominan dan menentukan dari ABRI (sekarang disebut TNI/POLRI) dalam politik. Peranan ABRI itu lahir dari suatu sejarah perkembangan politik Indonesia sendiri, dan kini sudah merupakan suatu kenyataan obyektif yang tidak mungkin dibantah lagi.
Peranan dominan politik ABRI pada kedua masa tersebut juga dapat memberikan masukan yang sangat penting bagi penataan penegakan hukum bagi anggota ABRI itu sendiri, terutama dalam perubahan kedudukan dan kewenangan lembaga Pengadilan Militer

II. PEMBAHASAN

Masa Demokrasi Terpimpin (5 Juli 1959 - 11 Maret 1966)
Politik hukum pada masa ini disebut “ Masa Demokrasi Terpimpin “atau lebih dikenal dengan “Masa Orde lama “. Masa demokrasi terpimpin ini dimulai dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. Alasan dikeluarkannya Dekrit Presiden tersebut adalah bahwa Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya untuk membuat Undang-Undang Dasar. Keadaan seperti ini dapat menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan kesatuan, dan keselamatan Negara. Pada tanggal 5 Juli 1959 tersebut Presiden RI mengeluarkan dekrit yang menyatakan pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945. Setelah keluarnya Dekrit tersebut, Presiden Soekarno memberikan kesempatan kepada DPR hasil Pemilu 1955 untuk tetap bekerja. Dengan berlakunya kembali UUD 1945 maka sistem pemerintahan yang dianut adalah Presidensiil, dimana Presiden yang menjadi Kepala Negara juga menjadi kepala Pemerintahan dan Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR tetapi kepada MPR.

Dalam masa ini sistem Presidensiil tersebut dianut tidak secara murni atau “Quasi”, karena Presiden masih bertanggungjawab kepada MPR dan Presiden dapat diberhentikan oleh MPR dalam suatu sidang istimewa MPR, atas perintah DPR apabila DPR menganggap Presiden telah melanggar GBHN.

Pada masa ini disebut Demokrasi Terpimpin karena arah kebijakan pemerintah yang dibentuk oleh Presiden dalam rangka kembali ke UUD 1945 adalah pemerintahan yang non demokratis dan sistem politik yang akan dibangun adalah sistem politik yang non demokratis pula. Hal itu dapat diamati dari definisi pada butir-butir pada ketentuan umumnya, antara lain yaitu:

· Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia.

· Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi disegala soal atau bidang kenegaraan dan kemasyarakatan, yang meliputi bidang-bidang politik, ekonomi dan sosial.

· Konsekwensi dari prinsip Demokrasi Terpimpin adalah:

1. Penertiban dan pengaturan menurut wajarnya kehidupan kepartaian sebagai alat perjuangan dan pelaksana cita-cita bangsa Indonesia dalam suatu Undang-undang kepartaian, yang ditujukan terutama kepada keselamatan negara dan rakyat Indonesia, sebagaimana diputuskan oleh Musyawarah Nasional pada bulan September 1957, dengan jalan yang demikian dapat dicegah pula adanya multi partai yang pada hakikatnya mempunyai pengaruh tidak baik terhadap stabilitas politik di negara kita.

2. Menyalurkan golongan-golongan fungsional, yaitu kekuatan-kekuatan potensi nasional dalam masyarakat kita, yang tumbuh dan bergerak secara dinamis, secara efektif dalam perwakilan guna kelancaran roda pemerintahan dan stabilitas politik.

3. Keharusan adanya sistem yang lebih menjamin komunitas dari pemerintah, yang sanggup bekerja melaksanakan programnya, yang sebagian besar dimuat dalam pola pembangunan semesta.

Walaupun dalam butir (2) dari definisi Demokrasi terpimpin itu disebutkan bahwa Demokrasi Terpimpin bukanlah diktator, namun sangat berlainan dengan demokrasi Liberal, padahal dari ketiga definisi diatas, arah menuju diktator atau otokrasi ataupun otoriter nampak jelas. Karena campur tangan penguasa dalam semua aspek kehidupan masyarakat, dan masuknya golongan fungsional terutama TNI dalam konfigurasi politik secara formal akan menjadi kendala dalam sebuah negara yang demokrasi.

I. Format Politik

Format politik dalam masa Demokrasi Terpimpin adalah sejak munculnya Soekarno sebagai penguasa tunggal dan makin berperannya TNI dan PKI dalam sistem politik yang dibangun serta merosotnya peranan partai-partai politik. Soekarno tidak hanya berperan sebagai kepala negara Konstitusional, tetapi sudah menjadi kepala Eksekutif, pemimpin besar refolusi, dan Panglima tertinggi Angkatan Bersenjata.
Semua kekuasaan pemerintah berada ditangan Soekarno dan sesuai dengan konsep demokrasi terpimpin, maka Soekarno ikut campur tangan dalam semua aspek kehidupan masyarakat, dan berwenang mengeluarkan Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden tanggal : 5 Juli 1959.

Dari uraian diatas maka format politik atau ciri khas dari sistem politik pada Masa Demokrasi Terpimpin adalah:

1. Munculnya Presiden Soekarno sebagai penguasa tunggal di Indonesia dan mengkonsentrasikan hampir seluruh kekuasaan penyelenggaraan negara kedalam tangannya, antara lain:

· Mengangkat sendiri anggota-anggota MPRS, DPRS.

· Menempatkan Mahkamah Agung sebagai pembantunya atau sebagai kabinetnya.

· Memberi kuasa pada dirinya untuk mengeluarkan Penetapan Presiden, dan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Pemerintah 5 Juli 1959.

2 Munculnya TNI, terutama Angkatan Darat sebagai kekuatan besar dibawah Soekarno.

3 Munculnya PKI sebagai kekuatan baru dalam perpolitikan di Indonesia.
Pada akhir kekuasaan rezim Demokrasi Terpimpin ini, Presiden diharuskan memberikan pertanggung-jawaban kepada MPRS, pada Sidang Umum MPRS tahun1966, Presiden Soekarno menyampaikan Pidato “Nawaksara“ yang dianggap sebagai bentuk pertanggungjawaban Presiden kepada MPRS.

Namun pertanggungjawaban tersebut ditolak oleh MPRS karena tidak mencantumkan sebab-sebab terjadinya peristiwa G.30 S/PKI, Kemunduran Ekonomi serta kemunduran akhlak.

II. Konfigurasi Politik

Setelah dikeluarkannya Dikrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno memberikan kesempatan kepada DPR hasil pemilu 1955 untuk tetap bekerja sesuai dengan UUD 1945. Untuk mempertahankan kekuasaannya Presiden Soekarno mengeluarkan beberapa kebijakan antara lain:

· Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1959, tentang tugas-tugas DPR harus sesuai dengan UUD-1945.

· Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1960, tentang Pembubaran DPR hasil Pemilu 1955.

· Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1960, tentang Pembentukan DPR GR

· Peraturan Presiden Nomor 156 Tahun 1960, Tentang pengangkatan DPR GR.

· Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1960, tentang Masuknya golongan fungsional dalam keanggotaan DPR GR.

· Penetapan Presiden Nomor 12 Tahun 1960, tentang susunan keanggotaan MPRS.

· Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960, tentang pengangkatan anggota MPRS.

· Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1960, tentang syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian.

· Keputusan Presiden Nomor 128 Tahun 1961, tentang pengakuan pemerintah hanya ada 8 (delapan) partai politik, yaitu : PNI, NU, PKI, PARTAI KATOLIK, PARTAI INDONESIA, PARTAI MURBA, PSII, dan IKATAN PENDUKUNG KEMERDEKAAN INDONESIA (IPKI).

· Keputusan Presiden Nomor 400 Tahun 1961, tentang pengakuan pemerintah terhadap penambahan 2 (dua) partai lagi, yaitu PARTAI KRISTEN INDONESIA dan PARTAI PERSATUAN TARBIAH ISLAMIYAH (PERTI).

Dengan demikian jumlah partai politik yang diakui menjadi berjumlah 10 (sepuluh) partai, ke sepuluh partai ini memiliki perwakilannya di DPR GR, sedangkan keberadaan Partai Masyumi, PSI dan lain-lain tidak diakui lagi. Tetapi sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan bahwa sistim politik yang non demokratis, maka jumlah wakil partai-partai politik di DPR GR hanya 130 orang dibanding wakil golongan fungsional yang jumlahnya 150 orang dan satu orang wakil dari Irian Barat.
Adapun komposisi keanggotaan DPR GR pada Masa Demokrasi terpimpin berjumlah 281 orang. Komposisi politik tersebut di atas, selain Presiden Soekarno sebagai penguasa tunggal, konfigurasi politik pada masa demokrasi terpimpin juga menunjukkan bahwa semua anggota DPR GR tersebut diangkat oleh Presiden, sehingga harus tunduk kepada kemauan Presiden. Dengan demikian semua keinginan Presiden dalam membentuk Undang-undang dan peraturan lainnya akan mudah tanpa ada kekhawatiran untuk ditentang oleh kekuatan-kekuatan politik dalam lembaga perwakilan tersebut. Akibatnya hukum yang dibentuk umumnya akan menjauh dari realitas social.

III. Politik Hukum

Politik hukum yang terjadi pada masa ini menghasilkan definisi Demokrasi terpimpin, yang mana politik hukum demokrasi terpimpin telah menetapkan hukum-hukum atau peraturan perundang-undangan yang mendukung konsep demokrasi terpimpin tersebut demi mempertahankan kekuasaannya. Politik hukum pada masa ini ditujukan untuk melaksanakan program yang telah disusun dalam Pembangunan Nasional Semesta Berencana, yaitu dengan cara menetapkan hukum atau perundang-undangan sebagai landasan yuridis yang mengatur pelaksanaan pembangunan. Karena itu, dengan politik hukum akan dapat diprediksi terciptanya hukum yang mengatur campur tangan pemerintah, terutama dalam bidang hukum itu sendiri dan perekonomian.
Untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintah dalam kerangka Demokrasi terpimpin, Presiden menempuh kebijakan yang mendua tentang bentuk peraturan perundang-undangan yang akan digunakan yaitu:

a. Dalam rangka pelaksanaan UUD-1945, meliputi:

· Ketetapan MPRS

· Undang-undang

· Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU).

· Peraturan Pemerintah

· Keputusan Presiden

b. Penetapan Presiden, dengan peraturan pelaksanaannya.
Politik hukum yang ditempuh Presiden pada permulaan Masa Demokrasi Terpimpin adalah kebijakan untuk mengukuhkan kekuasaannya sebagai penguasa tunggal tanpa adanya perlawanan yang berarti dari legislatif. Namun menjelang berakhirnya masa demokrasi terpimpin ini pelaksanaannya sudah tidak mudah lagi, banyak pertentangan dan gejolak dalam masyarakat yang menentang kebijakan Presiden, dan kondisi perekonomian juga semakin merosot.

Untuk meredam pertentangan dan gejolak tersebut Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963, tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Kemudian dalam perundang-undangan Presiden juga mengeluarkan Undang-undang Nomor 19 tahun 1964, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Sedangkan implikasi hukum terhadap UU No. 5 tahun 1950 setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden tersebut tetap berlaku, namun perkembangan selanjutnya menyebabkan penerapan politik hukumnya berbeda dengan periode sebelum dekrit 5 Juli 1959. Hal ini karena makin disadari bahwa kehidupan militer memiliki corak kehidupan khusus, disiplin tentara yang hanya dapat dimengerti oleh anggota tentara itu sendiri. Karena itu dirasakan perlunya fungsi peradilan militer yang diselenggarakan oleh anggota militer itu sendiri.

Pada tanggal 30 Oktober 1965 di undangkan Keputusan Presiden No. 22 tahun 1965, tentang perubahan dan tambahan beberapa pasal dalam UU No. 5 tahun 1950. Perubahan-perubahan tersebut adalah tentang pengangkatan pejabat-pejabat utama pada badan-badan peradilan militer.Dengan adanya ketentuan tentang pengangkatan tersebut, maka ketua pengadilan tentara dan pengadilan tentara tinggi, yang menurut ketentuan lama, karena jabatannya dijabat oleh oleh Ketua Pengadilan Negeri/Ketua Pengadilan Tinggi, sekarang di jabat oleh pejabat dari kalangan Militer sendiri.
Penyiapan tenaga ini telah dilakukan sejak tahun 1952 dengan mendirikan dan mendidik para perwira pada akademi hukum militer. Tahun 1957 angkatan I telah lulus kemudian melanjutkan ke Fakultas Hukum dan pengetahuan masyarakat, Universitas Indonesia.
Tahun 1961 merupakan awal pelaksanaan peradilan militer diselenggarakan oleh para perwira ahli/sarjana hukum, sesuai dengan Instruksi Mahkamah Agung Nomor 229/MA/1961, bahwa mulai September 1961 hakim militer sudah harus mulai memimpin sidang pengadilan tentara.

Dengan perkembangan tersebut di atas, dimulailah babak baru dalam penyelenggaraan Peradilan Militer. Perkembangan selanjutnya adalah bahwa anggota dari suatu angkatan Bersenjata diperiksa dan diadili oleh hakim dan jaksa dari angkatan yang bersangkutan. Perkembangan selanjutnya yang perlu mendapat perhatian adalah di undangkannya Undang-undang No. 3 tahun 1965 tentang memberlakukan Hukum Pidana Tentara, Hukum Acara Pidana Tentara dan Hukum Disiplin tentara bagi Angkatan Kepolisian pada tanggal 15 Maret 1965. Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya UU. No. 23 tahun 1965 pada tanggal 30 Oktober 1965 yang menetapkan bahwa dalam Peradilan tingkat pertama bagi Tamtama, Bintara dan Perwira polisi yang melakukan tindak pidana di adili oleh badan peradilan dalam lingkungan angkatan kepolisian. Sebelumnya diadili di badan peradilan Angkatan Darat dan Angkatan Laut untuk yang kepulauan Riau. Dengan demikian lingkungan Peradilan Militer dalam pelaksanaannya terdiri dari:

1. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Darat

2. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Laut

3. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Udara

4. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Kepolisian.

Peradilan ini terus berlangsung hingga tanggal 11 Maret 1966, bahkan peradilan di lingkungan Kepolisian baru di mulai pada tahun 1966. Pemisahan Peradilan Umum dan Peradilan Militer Pada tahun 1997 diundangkan UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer. Undang-undang ini lahir sebagai jawaban atas perlunya pembaharuan aturan Peradilan Militer, mengingat aturan sebelumnya dipandang tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok Kehakiman.

Dari beberapa penjelasan di atas, jelaslah bahwa timbulnya berbagai macam perubahan sitem Peradilan Militer, utamanya pada masa demokrasi terpimpin, tidak terlepas dari kondisi Format Politik, Konfigurasi Politik dan Politik Hukum, sehingga dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Sejak Masa Demokrasi terpimpin hingga saat sekarang ini, Peradilan Militer telah menjalani perubahan berkali-kali, baik dari segi penamaan, tingkatan, kedudukan serta kewenangan mengadili. Hal ini ditandai dengan lahirnya UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

2. Tentara merupakan warga negara yang mengemban tugas Khusus, yaitu menjaga kedaulatan negara baik di Darat, Laut dan Udara oleh karena itu diperlukan Peradilan Khusus pula.

3. Pelaksanaan Peradilan militer haruslah murni dan memenuhi ciri dan sifat kodratnya sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka/Independen dan terlepas dari interfensi Pemerintah, Komandan atau siapapun.

4. Pelaksanaan peradilan di lingkungan militer hendaknya tetap mengutamakan penegakan hukum, tanpa mengesampingkan atau merugikan kepentingan militer atau Negara itu sendiri.

Tidak ada komentar: