Sabtu, 17 November 2007

politik luar negeri Mesir

Mesir termasuk Negara arab yang memiliki peranan penting dan berpengaruh terhadap perkembangan situasi di Timur Tengah, khususnya yang berkaitan dengan usaha penyelesaian sengketa Arab-Israel yang berintikan masalah Palestina. Peran Mesir tersebut diwujudkan dengan cara berkabung dengan beberapa organisasi internasional, seperti liga arab (LA), Organisasi Konferensi Islam (OKI), Organisasi Persatuan Afrika (OPA), dan Gerakan Non-Blok (GNB). Mesir juga termasuk salah satu pemerkasa lahirnya organisasi-organisasi internasional tersebut. Menjadi anggota beberapa organisasi internasional membuat Mesir dapat berperang aktif dalam berbagai urusan yang melibatkan kepentingan Negara-negara anggotanya.

Berikut ini adalah perkembangan politik luar negeri dan hubungan internasional Mesir pada masa pasca revolusi 1952 yang dibedakan dalam 3 zaman kepemimpinan, yaitu:

1. Periode Nasser

Setelah Nasser berkuasa, dia berusaha untuk menjalin hubungan baik dengan AS. Salah satu harapannya adalah mendapat peluang untuk membeli persenjataan bagi modernisasi tentara Mesir untuk menggantikan persenjataan yang sudah sangat usang. Namun, harapan itu tidak terpenuhi, karena AS hanya mau memenuhinya jika mesir mau bergabung dengan blok anti komunis dibawah pimpinan AS. Prasyarat AS itu telah mengecewakan Nasser yang sangat membutuhkan sumber bantuan untuk memodernisir kondisi angkatan bersenjatanya yang persenjataannya sudah usang.

Sejak saat itu, Nasser mengalihkan perhatiannya pada sumber persenjataan lainnya, mulai dari Chekoslowakia hingga akhirnya Uni Soviet. Pada waktu periode Nasser itulah angkatan bersenjata Nasser diperlengkapi dengan persenjataan dari Uni Soviet. Peristiwa ini bias dianggap sebagai permulaan beralihnya orientasi Mesir ke “Timur”. Walaupun mesir tidak menghendaki pengaruh komunisme menjalar ke dalam negerinya namun hubungan dengan Uni Soviet berkembang luas ke berbagai bidang, dan makin menjauhkan mesir dari kubu AS. Puncak kejayaan hubungan antara Mesir dengan Uni Soviet dilambangkan oleh peresmian selesainya pembangunan Bendungan Aswan (1964).

Dalam rangka pembangunan dunia Arab yang bersatu, Nasser mengambangkan gagasan Pan-Arabisme. Mesuir bersama bebrapoa negara Arab lain memprakarsai dibentuknya Negara Arab (Alexandria, Maret 1945). Liga ini mempunyai standing committees, diantaranya adalah yang dikhususkan untuk bidang politik. Di samping itu LA membentuk beberapa councils, seperti menyangkut bidang ekonomi dan pertahanan, serta membentuk badan khusus, seperti Arab Labour Organization, Arab Postal Union, Arab Telecommunication Union. Semua ini menggambarkan suatu tahap baru dalam kebangkitan Arab sebagai bangsa tanpa meniadakan identitas tanah air masing-masing.

Kejayaan Nasser mengalami kemunduran akibat kekalahan Mesir dalam perang 6 hari (1967) yang berakibat didudukinya wilayah Mesir (Semenanjung Sinai) oleh Israel. Perang ini disebabkan karena ketidakpuasan orang Arab atas kekalahan mereka dalam perang Arab-Israel pada tahun 1948 dan 1957. orang-orang Arab tetap tidak bersedia mengakui keberadaan Negara Israel dan ingin menghancurkan Israel.

2. Periode Sadat

Anwar Sadat diangkat menjadi Presiden sebagai pengganti Nasser. Tidak lama sesudah diangkat sebagai Presiden, Sadat melakukan gerakan “Pembersihan” terhadap Anasir “Sayap kiri” yang pro Uni Soviet. Seiring dengan tindakan itu, Sadat segera melancarkan kebijaksanaan yang infitah (pintu terbuka) sebagai permulaan Liberalisasi dibidang Ekonomi. Hal ini mendapat tentangan keras dari golongan Nasser (Sosialisme Arab) yang berorientasi kerakyatan dan didukung oleh mahasiswa dan kaum buruh. Lieberalisasi Ekonomi dianggap hanya akan menguntungkan golongan kelas menengah dan orang kaya baru saja. Sedangkan Sadat berpendapat bahwa sulit bagi Mesir untuk memperbaiki kondisi Ekonomi dalam negerinya tanpa membuka pintu untuk investasi modal asing. Menghadapi tantangan dari dalam negeri itu Sadat bertindak hati-hati dan terpaksa tetap melanjutukan hubungan dengan Uni Soviet walaupun tidak seerat pada masa Nasser.

Pada bulan Oktober 1973, Sadat melancarkan serangan terhadap Israel. Perang yang di Mesir terkenal dengan sebutan perang Ramadhan ini membuat nama Sadat menjulang, karena tentara Mesir berhasil menyeberangi terusan Suez dan menghancurkan benteng pertahanan Israel Lini Barlev yang dibangun dengan saat kuat sehingga dianggap tidak mungkin ditembus oleh serangan musuh. Peperangan yang oleh Sadat ditegaskan sebagai “Limited Confrontation” memang tidak berakhir dengan kemenangan dipihak Mesir. Tetapi, tujuan Sadat untuk melibatkan AS dalam usaha penyelesaian sengketa Arab-Israel tercapai. Sadat beranggapan bahwa hanya AS yang bias mendorong Israel untuk melaksanakan perundingan perdamaian. Dengan perang Oktober ini, Sadat tidak hanya berhasil menyeret AS ke dalam usaha penyelesaian sengketa Ara-Israel, melainkan juga Uni Soviet dan sejumlah Negara Eropa.

3. Periode Mubarak

Selama 6 tahun menjabat sebagai wakil Presiden, Husni Mubarak terkenal sebagai pendukung penuh kebijaksanaan politik Sadat, termasuk pelaksanaan politik luar negerinya dan khususnya usaha Sadat untuk mengakhiri berlarutnya masa “No war, No peace” dengan Israel.

Pada awal masa jabatannya, Mubarak lebih mencurahkan perhatian pada usaha memperbaiki perekonomian dalam negerinya dengan jalan melanjutkan kebijaksanaan pintu terbuka yang sudah dirintis oleh Sadat. Perbaikan aparatur birokrasi menjadi prioritas utama, khususnya untuk menciptakan iklim yang baik bagi penanaman modal asing. Dalam usaha perbaikan perekonomiannya, Mubarak menerima bantuan Ekonomi dan Keuangan yang cukup besar dari AS, antara lain pemutihan hutangnya. Sadat mewariskan kepada Mubarak untuk memimpin Mesir yang terisolasi dari dunia Arab dan terpuruk perekonomiannya, karena dibekukannya bantuan keungan yang selama ini diterima dari sumber Arab. Hal ini membuat Mubarak terpaksa berpaling kepada AS sebagai sumber bantuan utama, inipun sampai batas waktu tertentu yang mengikat Mubarak dalam pelaksanaan politik luar negerinya, terutama mengenai konflik Arab-Israel.

Salah satu usaha Mubarak yang tampak berjalan mulus adalah usahanya untuk memperbaiki hubungan Mesir dengan Uni Soviet yang merenggang sejak dipulangkannya kembali penasihat militer Uni Soviet dari Mesir. Dengan ditingkatkannya pertukaran kunjungan pejabat tinggi antara kedua Negara itu, akhirnya hubungan Mesir-Uni Soviet pulih kembali, walapun tidak seakrab sebelum perang Oktober 1973. Usaha Mubarak untuk mengembalikan keseimbangan hubungan Mesir dengan AS, dan Uni Soviet tampaknya cukup berhasil. Selain itu, Mesir juga meningkatkan hubungannya dengan Negara-negara anggota OPA dan OKI.

Berbagai peristiwa penting di wilayah Timur Tengah ternyata memudahkan Mesir untuk memulihkan citranya sebagai aktor politik yang tidak bisa diabaikan perannya. Mubarak melanjutkan dukungan Mesir terhadap Irak dalam perang Irak-Iran (1980-1988). Inplasi Israel ke Libanon ditentang keras oleh Mubarak dan mengakibatkan merenggangnya kembali hubungan Mesir dan Israel.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa politik luar negeri Mesir banyak dipengaruhi oleh berbagai peristiwa yang berkembang sekitar konflik Arab-Israel. Konflik Arab-Israel dengan masalah Palestina sebagai intinya memang sangat rumit dan tidak jarang membawa akibat timbulnya konflik antara Negara Arab.

Tidak ada komentar: