Minggu, 18 November 2007

Revolusi Rusia dan V.I. Lenin

Tanggal 7 November adalah hari peringatan kemenangan Revolusi Rusia di tahun 1917. Vladimir Ilyich Lenin berhasil mengkombinasikan kepemimpinan praksis revolusioner dengan sumbangan teoritis yang penting bagi pemahaman sosialis tentang dunia dan bagaimana merubahnya.

Dua kontribusi teoritisnya yang paling penting adalah tentang Imperialisme dan strategi revolusioner di negara-negara terbelakang yang dieksploitasi oleh imperialis.

Imperialisme

Dunia masih di dominasi oleh sebuah sistem yang membaginya dalam dua pihak, kaya dan miskin, yang mengeksploitasi dan yang dieksploitasi--tidak hanya antar bangsa, tapi juga diantara bangsa itu sendiri. Sistem yang memaksa orang (klas pekerja atau proletariat) untuk bekerja agar bisa tetap hidup di bawah kontrol mereka (klas penguasa atau borjuasi) yang memiliki semua industri-industri kunci. Klas penguasa dari berbagai bangsa yang berbeda bersaing untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan mengeksploitasi yang lainnya demi keuntungan. Watak dasar sistem inilah --Imperialisme-- yang dianalisa oleh Lenin di tahun 1916.

Sebuah kejadian yang menguatkan pembangunan teori Lenin adalah Perang Dunia I, kaum marxis memahaminya sebagai pertempuran diantara klas penguasa di negara-negara kapitalis maju untuk meraih kontrol sepenuhnya atas dunia beserta sumber daya alamnya. Telah banyak peperangan yang terjadi di abad ini karena pertempuran yang sama, demi pasar yang lebih besar untuk penjualan produk mereka, dan kontrol yang lebih besar atas sumber daya alam dan kaum buruh yang bisa dieksploitasi.

Salah satu faktor disebutnya sebuah negara sebagai imperialis adalah klas penguasa di suatu negara mempunyai modal atau keuntungan yang dapat digunakan untuk “investasi” di negara lain; investasi itu untuk membeli bahan mentah dan buruh yang ada di negara tempat investasi, dan untuk menghisap keuntungan dari mereka.

Negara Imperialis mulai mendominasi negara dunia ketiga melalui kontrol penjajahan langsung. Sekarang kontrol mereka itu kebanyakan mengambil bentuk dominasi ekonomi atau modal. Kucuran hutang yang diberikan bank-bank negara maju kepada dunia ketiga yang dipaksakan untuk membiayai "pembangunan" dengan menggunakan pinjaman tersebut, memaksa negara-negara dunia ketiga untuk mengijinkan perusahaan-perusahaan dari negara-negara imperialis untuk mengeksploitasi secara massif sumber daya alam dan kaum buruh mereka.

Pembagian-bagian dunia oleh kaum imperialis menyediakan sebuah lahan permanen bagi imperialis untuk mengeksploitasi secara massif klas pekerja. Sebagai contoh, Nike membayar buruhnya sebesar 25 sen dollar Australia perhari di pabrik mereka yang berada di Indonesia, tapi mereka menjual sepatunya di negara-negara maju seharga ratusan dollar.

Imperialisme mengurung negara dunia ketiga --lebih dari 4 per 5 populasi dunia- dalam kemelaratan, namun mereka mengingkarinya secara sistematis, dengan argumen teknologi dan bantuan finansial yang diberikan itu dibutuhkan untuk pembangunan.

Mempertahankan Kekuasaan

Keuntungan besar bagi klas penguasa di negara-negara imperialis dengan digunakannya sistem ini, memungkinkan kaum penindas itu untuk memperoleh sebuah derajat ketentraman sosial tertentu di negara-negara dunia pertama dengan menyediakan dalam kadar tertentu hak-hak istimewa, yang mengilusi banyak pekerja untuk mempertahankan sistem keuntungan pribadi (kapitalisme, pent). Lenin menyebut lapisan ini (yang terilusi dan menjadi antek kapitalis, pent) sebagai “Aristokrat buruh”. Ilusi untuk mempertahankan sistem kapitalisme melanda negara-negara dunia pertama.

Biasanya, klas penguasa menggunakan nasionalisme untuk menghancurkan solidaritas para pekerja yang ada di negara Imperialis terhadap penindasan yang menimpa kaum buruh di negara dunia ketiga. Perasaan solidaritas inilah yang dapat mengakibatkan keberhasilan dalam perjuangan melawan eksploitasi imperialis. Rasisme biasanya juga digunakan untuk memecah-belah buruh-buruh di negara dunia pertama dan ketiga.

Di negara-negara otoriter, sistem ini dipaksakan dengan cara-cara yang lebih brutal seperti kediktatoran, aturan-aturan militer, dan repressi.

Strategi

Lenin menggunakan pengalamannya dalam membangun gerakan revolusioner di Rusia untuk memformulasikan teorinya tentang strategi revolusioner di negara-negara terbelakang.

Tugas terberat kaum revolusioner pada masa kekaisaran Rusia adalah memenangkan kesadaran yang ada pada klas pekerja, dan keterlibatan aktif mereka (klas pekerja) dalam proses revolusi. Mayoritas rakyat Rusia bukanlah buruh, melainkan para petani yang berada pada taraf subsistensi pra-industrial, dan , hak-hak demokratikpun,meskpun bersifat terbatas, ditolak oleh Rezim represif pimpinan Tsar.

Di Rusia tidak terdapat Revolusi borjuis seperti yang terjadi di negara-negara Eropa Barat, dimana aturan-aturan monarki digantikan aturan yang dibuat oleh parlemen yang dipilih. Adanya parlemen ini merefleksikan pertumbuhan kekuatan ekonomi di bidang politik, dan mereka (borjuis) menjadi klas penguasa yang baru. Borjuasi Rusia secara ekonomis sangat lemah, dan secara politis mereka takut untuk bekerja sama dengan klas buruh dan tani dalam revolusi borjuis.

Menurut teori “Uninterrupted Revolution“ (revolusi berkelanjutan) yang dikembangkan oleh Lenin, tahapan yang pertama adalah keterlibatan klas pekerja dan seluruh petani dalam penggulingan Tsar dan pembentukan sebuah republik demokratik. Yang kedua, tahapan sosialis yang melibatkan buruh yang bersatu dengan para petani miskin untuk melawan para petani kaya.

Untuk memudahkan dan menerapkan dari tahapan yang pertama, Bolshevik meyakini sebuah sistem yang didasarkan pada perwakilan-perwakilan (soviets) buruh dan tani yang dipilih oleh rakyat. Sistem pemerintahan ini diterapkan (entrenched) pada revolusi 1917.

Reformasi agraria akan tuntas ketika kontrol atau kepemilikan tanah yang di pegang oleh tuan-tuan tanah diambil-alih oleh para petani penggarap. Bagaimanapun, Lenin percaya bahwa para petani miskin tidak akan segera menyadari perbedaan kepentingan (para petani miskin) dengan petani kaya, dan oleh karena itu, mereka juga tidak akan segera mendukung langkah-langkah sosialis seperti kolektivisasi tanah.

Dalam tahap kedua, kekuasaan politik digunakan oleh klas pekerja untuk memperoleh kontrol ekonomi secara langsung, dan untuk membantu para petani miskin dalam pengambil-alihan kontrol tanah.

Pada tahun 1918 Lenin menulis : “Sesuatu telah berubah seperti kita yang dulu kita katakan. Pelajaran yang di dapat dari revolusi telah menegaskan kebenaran penjelasan atau argumen-argumen kita. Pertama, dengan kaum tani melawan monarki, melawan tuan-tuan tanah, melawan pemikiran abad pertengahan atau mediavalism (dan untuk meningkatkan revolusi terhadap sisa-sisa borjuasi, demokratik borjuis). Kemudian bersama dengan kaum petani miskin, semi-proletariat, dan semua yang tereksploitasi, melawan kapitalisme, termasuk orang-orang kaya pedesaan, para tengkulak, lintah-darat, dan semuanya itu meningkatkan revolusi ke tahapan sosialis. Jika kita berusaha mendirikan sebuah “tembok cina” antara tahap pertama dan kedua, untuk memisahkan keduanya (tahap satu dan dua) dengan alasan selain tingkatan kesiapan proletariat dan tingkatan persatuan atau kesatuan dengan para petani, berarti sangat mendistorsi Marxisme, menjadikannya vulgar, memindahkan liberalisme ke tempatnya semula.

Revolusi Internasional

Ketika Karl Marx dan Frederick Engel meramalkan bahwa revolusi sosialis akan terjadi pertama kali di negara-negara kapitalis maju, ini bukanlah permasalahan bagaimana sejarah berjalan (proceeded). Mereka belum melihat dampak super-profit (keuntungan yang sangat besar) Imperialis dan aristokrasi perburuhan yang melanda klas pekerja di negara-negara maju.

Kemenangan revolusi Rusia menunjukkan bahwa kapitalisme akan hancur di mata rantainya yang paling lemah. Paska revolusi Rusia, hal ini terulang lagi dan lagi, mulai dari Kuba sampai Nikaragua, dan dari Vietnam ke Granada.

Tapi revolusi-revolusi ini sangat mudah dipatahkan. Imperialisme akan memperbesar kekuatannya untuk mendapatkan kembali kontrol dan dominasinya atas negara-negara yang telah memutuskan hubungan dengan kapitalisme. Tahun 1918, negara imperialis melakukan intervensi militer untuk mendukung kapitalis kontra-revolusi di Rusia. Amerika Serikat juga telah melakukan (memimpin) blokade ekonomi selama 40 tahun terhadap Kuba, namun revolusi masih bisa diselamatkan.

Lenin berkata di tahun 1912 : “Kita selalu mengutamakan dan memperteguh kebenaran mendasar Marxisme—bahwa usaha penggabungan kaum buruh dari berbagai belahan negara-negara maju adalah dibutuhkan untuk kemenangan Sosialisme “

Di negara-negara terbelakang, pemerintahan sosialis masih menggantungkan diri pada segelintir orang administrator dan manager ahli untuk menjalankan ekonomi. Di Rusia, dominasi dilakukan oleh sebuah birokrasi yang berbasis pada lapisan sosial yang mengambil kekuasaan, yang dipimpin Joseph Stalin. Stalin meluluh-lantakkan semua pemikiran-pemikiran Bolshevik tentang organisasi sosial, demokrasi partai, dan internasionalisme.

Sayangnya, banyak yang mengganggap ide-ide tersebut (stalinisme) adalah sosialisme. Teori Stalin yang salah, “Building Socialism in One Country” (Sosialisme dalam satu negeri) digunakan untuk mengorbankan perjuangan sosialis di banyak negara demi mempertahankan kepentingan-kepentingan mendesak Uni-Soviet. Hal ini bukanlah ajaran-ajaran Lenin.

Karena imperialisme adalah sebuah sistem penindasan yang berskala Internasional, maka dibutuhkan sebuah perjuangan yang berskala internasional. Internasionalisme revolusioner berarti mendukung perjuangan melawan segala penindasan dan ekploitasi yang terjadi di berbagai penjuru dunia, dan juga membangun gerakan untuk melawan pemerintahan kapitalis kita sendiri.

Dalam perjuangan ini, Lenin mengembangkan sebuah pemahaman bagi kita tentang bagaimana imperialisme bekerja, dan hal itu menjadikan pelajaran-pelajaran dari kepemimpinan Lenin dalam revolusi sosialis pertama dalam sejarah menjadi lebih relevan.

Marxisme dan Perjuangan Melawan Imperialisme

Hampir 16 tahun berlalu sejak George Bush, waktu itu presiden Amerika Serikat, mengucapkan pidatonya yang terkenal, "Tatanan Dunia Baru". Itu terjadi tahun 1991. Saat melancarkan Perang Teluk, kekuatan Imperialis yang paling utama di muka bumi menjanjikan sebuah dunia tanpa peperangan, tanpa kediktatoran, dan &endash;tentu saja&endash; sebuah dunia yang sepenuhnya berada di bawah kontrol satu-satunya polisi dunia yang berkuasa penuh Amerika Serikat. Setelah keruntuhan Stalinisme, Imperialisme AS benar-benar mengira bahwa dunia akan dengan lekatnya berada di bawah perintah mereka dan mereka akan bisa mendikte nasib tiap negara. Semua konflik di dunia diselesaikan melalui dialog dalam semacam "Pax Americana". Nyatanya, sekarang semua impian ini telah tereduksi menjadi puing-puing semata.

Dominasi imperialisme yang sifatnya menghancurkan di dalam arena dunia, yang makin kuat saja setelah keruntuhan Stalinisme, berarti terjadinya eksploitasi yang makin parah terhadap Dunia Ketiga secara keseluruhan. Dominasi negara-negara metropolitan masih lebih besar daripada di masa lalu. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa birokrasi-militer lama yang langsung dikontrol oleh individu boss kolonial telah diganti tempatnya oleh dominasi kolektif atas dunia kolonial oleh negara-negara eksploiter yang kaya raya melalui mekanisme pasar. Di bawah panji "globalisasi" dan "pembukaan pasar" imperialisme melakukan pemaksaan melalui kebijaksanaan penurunan tarif dan swastanisasi berbagai prasarana di seluruh Dunia Ketiga. Kebijakan-kebijakan ini adalah satu akibat dari krisis kapitalisme di Dunia Barat yang memaksa negara-negara imperialis tadi untuk terus mencari pasar dan lapangan investasi baru. Tetapi mereka menetakkan kebangkrutan bagi industri-industri lokal di negara-negara yang mereka datangi, industri-industri yang tak dapat melawan berbagai perusahaan multinasional raksasa. Situasi ini telah memproduksi konsekuensi-konsekuensi yang paling membinasakan dan telah menghasilkan akibat-akibat yang sebelumnya tidak terlihat oleh Presiden Bush.

Secara tipikal, para pembuat strategi AS mempunyai pandangan pendek. Mereka gagal mengerti apa yang telah diterangkan oleh Trotsky bahkan sebelum Perang Dunia Kedua. Trotsky meramalkan bahwa Amerika Serikat akan muncul dengan jayanya dari hiruk pikuk perang yang akan tiba, tetapi sebagai akibatnya Amerika Serikat memasang dinamit di pondasinya sendiri. Saat ini kita melihat bahwa ramalan ini menjadi kenyataan. Kolapsnya Uni Soviet telah merubah bentuk relasi di antara pemilik kekuasaan, menjadikan USA sebagai satu-satunya negara adi daya di dunia. Dalam sejarah umat manusia, tidak pernah ada satu negara tunggal yang menikmati dominasi ekonomi dan militer sedemikian rupa. Malahan krisis yang datang terus-menerus adalah manifestasi bahwa imperialisme AS adalah si Colossus berkaki lempung. Meskipun mengalami kemenangan militer dalam Perang Teluk, AS tidak mampu menggeser Saddam Hussein. Usahanya dalam intervensi militer melawan milisi cakar ayam di Somalia berakhir dalam satu kekalahan memalukan. Sekarang krisis di Asia dan khususnya berbagai kejadian di Indonesia telah menempatkan revolusi secara ajeg dalam agenda. Di Selatan, Amerika Serikat menghadapi suatu krisis menyeluruh di Amerika Tengah dan Amerika Latin dengan berbagai gejolak sosial politik di Meksiko, sebuah perang gerilya yang ber kepala batu di Kolombia, dan sebuah situasi eksplosif di Argentina dan Brazil. Ke mana saja ia mengarahkan pandangan, imperialisme AS dapat melihat bahwa tidak ada satupun rezim borjuis bisa stabil. Seluruh dunia telah masuk ke dalam periode paling kejang dalam kurun waktu ratusan tahun.

BEBAN HUTANG

Eksploitasi berlebihan terhadap Dunia Ketiga, yang makin intensif setelah keruntuhan Stalinisme, mempunyai arti terjadinya perpindahan kekayaan dari negara-negara ini ke peti penyimpanan uang milik perusahan-perusahaan multinasional raksasa dan bank-bank. Hal ini dapat terlihat pada beban hutang yang telah mencapai proporsi yang bahkan sebelum pertemuan G-8 di Birmingham (Mei 1998) telah ada beberapa pembicaraan mengenai inisiatif keringanan pinjaman bagi beberapa negara termiskin. Di akhir pertemuan itu tidak ada satupun inisiatif disetujui. Bank Dunia &endash;tanpa membicarakan pengembalian hutang yang sebenarnya, juga telah memulai sebuah program HIPC (Highly Indebted Poor Countries) yang bertujuan untuk memotong beban hutang 41 negara yang membelanjakan lebih dari 20 persen pendapatan ekspor mereka untuk pembayaran bunga hutang.

Semua rencana ini tidaklah lahir dari niat baik dan kemurahan hati para eksekutif Bank Dunia dan IMF. Ada tiga alasan utama untuk hal ini. Yang paling pertama adalah sangat tidak mungkin bahwa negara-negara ini akan pernah mampu membayar hutang mereka. Oleh karena itu, mereka (IMF dan Bank Dunia) telah memutuskan untuk mengenali realita dan membuat pemerintahan-pemerintahan dunia Barat mengembalikan apa yang dipinjamnya dari bank-bank penyandang dana dengan uang para pembayar pajak. Dalam cara ini bank tidak pernah kalah. Tujuan utama dari inisiatif-inisiatif keringanan hutang ini adalah, di satu sisi, untuk memaastikan bahwa para bankir memperoleh kembali uang mereka, dan di sisi lain, untuk mengangkat negara-negara yang banyak hutang ini ke suatu posisi di mana mereka bisa meminta lebih banyak pinjaman! Kedua, jumlah hutang yang dipinjam oleh negara-negara penghutang terbesar ini, sebagai sebuah persentase dari total pinjaman negara-negara yang dulunya negara-negara jajahan, adalah sangat kecil. Dan yang ketiga, rencana-rencana keringanan tadi datang bersama-sama dengan banyak sekali syarat-syarat terkait. Negara-negara yang terlibat harus melaksanakan "rekomendasi-rekomendasi" (yaitu, perintah) dari IMF.

Rencana Penyesuaian Struktural (SAPs, Structural Adjustment Plans) IMF yang terkenal sekarang telah berjalan cukup lama hingga dapat mengetahui apa konsekuensi-konsekuensinya. Sebagai satu contoh, Zambia adalah sebuah negara yang relatif berkembang dengan sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit, pelayanan pendidikan, serta sebuah infrastruktur modern yang dibangun terutama di atas basis pendapatan dari pertambangan tembaga. Sepuluh tahun pelaksanaan "penyesuaian struktural" menggiring angka harapan hidup jatuh dari 54,4 tahun di tahun 1991 menjadi 42,6 tahun di tahun 1997. Angka melek huruf berkurang, dan sebagai akibat langsung dari naiknya biaya rumah sakit sekarang tercatat 203 kematian bayi per 1.000 kelahiran dibandingkan 125 di tahun 1991. Akses mendapatkan air bersih juga berkurang, dan 98,1 persen jumlah penduduk hidup atas 2 USD per hari atau malah kurang. Hutang negara mewakili 225 persen GDP (Gross Domestic Product). Oleh karena itu, sama sekali tidak mengejutkan bahwa baru-baru ini terjadi kerusuhan pangan di Zambia &endash; juga di negara-negara yang lain, seperti Zimbabwe dan Tanzania.

Beban hutang negara-negara termiskin di dunia menghabiskan 94 persen pendapatan ekonomi per tahun mereka. Untuk negara-negara yang termasuk dalam program HIPC gambaran ini berkisar 125 persen. Dibandingkan pendapatan hasil ekspor, persentase hutang telah mencapai tingkat yang belum pernah terdengar: Somalia 3.671 persen, Guinea-Bissau 3.509 persen, Sudan 2.131 persen, Mozambik 1.411 persen, Ethiopia 1.377 persen, Rwanda 1.374 persen, Burundi 1.131 persen. Dan jauh dari membaik, situasi secara nyata malah makin memburuk. Tahun 1980 total jumlah hutang dari negara-negara belum berkembang adalah 600 miliar USD. Di tahun 1990 jumlah itu naik hingga 1,4 triliun USD dan tahun 1997 jumlah itu secara mengagetkan menjadi 2,17 triliun USD. Adalah penting untuk mencatat bahwa dalam periode 1990-97, ketika jumlah hutang total naik 770 miliar US dollar, negara-negara ini sebenarnya telah membayar 1,83 triliun US dollar hanya untuk bunga hutang. Sebuah gambaran yang lebih bersifat skandal licik akan muncul jika kita membandingkan pembayaran bunga hutang dengan bantuan yang diterima negara-negara ini, yaitu untuk satu dollar yang mereka terima dalam bantuan, mereka membayarkan kembali 11 dollar untuk bunga hutang.

Akibat-akibat situasi ini jelas. Situasi di seluruh Afrika Sub-Sahara adalah mimpi buruk. Menurut The Economis (6/6/98), "Hampir setengah dari 760 juta orang yang di benua ini 'amat sangat miskin', bertahan hidup, diungkapkan oleh ADB (Bank Pembangunan Afrika), atas kurang dari 1 dollar per hari. Walaupun terdapat tanda-tanda yang membesarkan hati dalam beberapa bagian benua, rata-rata pertumbuhan GDP nyata turun di tahun 1997 menjadi 3,7 persen dari 5 persen di tahun sebelumnya. Kesembuhan Afrika masih rapuh dan tatap sama rentan dengan sebelumnya terhadap harga-harga komoditas dan iklim ekonomi yang memburuk. Globalisasi perdagangan dunia... dapat menekan ekonomi benua ini jauh melampaui margin batasnya. Menurut Bank Dunia Afrika hanya menarik minat 1,5 persen investasi langsung milik penanam modal asing di tahun 1996. Penerima bantuan terbesar, memperoleh 32 persen dari jumlah total, adalah Nigeria yang, terpisah dari fakta mempunyai persediaan minyak bumi, tidak mereformasi ekonominya dalam cara di mana minyak bumi dikatakan oleh Bank Dunia sebagai essensial untuk menarik investasi asing." Meningkatnya tingkat pemiskinan dari penduduk di sebagian besar dunia kolonial telah memberikan kenaikan tajam pada meningkatnya jumlah kriminalitas, pasar gelap, dan "ekonomi informal". Dalam beberapa kasus, pasar gelap mewakilkan jumlah yang lebih besar dalam bidang ekonomi dibandingkan pasar resmi dan pasar gelap ini merembes ke semua bidang aparatus negara. Mereka mencoba melindungi kepentingan mereka dalam arena politik melalui kekuatan-kekuatan kaum fundamentalis dan "populis". Semua ini adalah kekuatan-kekuatan ekonomi yang dahsyat yang dalam banyak kasus memiliki kepentingan-kepentingan yang lalu menimbulkan konflik dengan kepentingan-kepentigan imperialisme. Jadi, di semua tingkatan, pembusukan kapitalisme merusak apa yang menjadi hal paling dasar bagi eksistensi umat manusiia di dua per tiga planet. Sebagaimana Lenin ingatkan, perpanjangan eksistensi kapitalisme menandai "horor tanpa akhir".

PERAN KELAS PEKERJA

Marx, Engels, dan Lenin senantiasa memberi penekanan pada peran terdepan dari kaum proletariat di dalam revolusi. Mereka menjelaskan bahwa hanya kelas pekerja yang bisa mengusung revolusi kaum sosialis. Tak ada kelas lain yang dapat memenuhi peran ini. Mengapa begini? Ini bukanlah sebuah cetusan pikiran yang tiba- tiba atau sebuah asumsi arbiter. Ia berbasis pada peran para pekerja dalam produksi, dan kenyataan bahwa partisipasi dalam produksi kolektif ("sosial") berarti bahwa kelas pekerja sendirian membangun sebuah kesadaran sosialis (kolektifis). Ini bukan kasus dengan kelas lain. Kaum tani adalah sebuah kelas para pemilik kecil. Bahkan para petani yang tak bertanah, kaum proletariat pedesaan, sering sekali mendambakan pemilikan tanah; jadilah slogan "Tanah untuk penggarapnya" &endash;yang, meski ini merupakan signifikasi revolusioner yang luar biasa, semboyan ini memiliki kandungan borjuis, bukan sosialis. Para mahasiswa dan kaum cendekiawan mempunyai sebuah tendensi yang kuat terhadap individualisme borjuis kecil, yang seringkali memunculkan dirinya bahkan ketika mereka mencoba mengadopsi posisi revolusioner.

Melalui pengalamannya, kaum proletariat belajar untuk memahami organisasi kolektif dan disiplin. Inilah hasil dari sekolah keras produksi dan eksploitasi kapitalis, yang mempersiapkan para pekerja untuk menghadapi perjuangan kelas. Senjata-senjata wajar milik kaum proletar adalah metode-metode perjuangan massa &endash;pemogokan, pemogokan umum, demonstrasi massa, yang bertindak sebagai sebuah sekolah yang mempersiapkan kelas ini untuk tugas utamanya, yaitu mengambil alih jalannya masyarakat ke dalam tangannya. Gerakan kaum pekerja di semua tempat adalah sekolah demokrasi. Sebelum para pekerja itu memutuskan untuk melakukan pemogokan, terdapat diskusi demokratis di mana di dalamnya pendapat yang saling bertentangan dapat terdengar. Tetapi sekali telah diambil pilihan suara, kaum bekerja bertindak sebagai satu kesatuan. Mereka yang telah mencoba menghianati keputusan demokratis para pekerja dan mengacaukan pemogokan diperlakukan sebagai buruh penghianat yang memang harus dihukum. Unjuk rasa adalah ekspresi kongkrit dari kehendak mayoritas. Selama berlangsungnya pemogokan kaum pekerja berpartisipasi, bekerja, dan berdiskusi. Setiap pekerja mengetahui bahwa ia belajar lebih banyak selama satu hari pemogokan dibandingkan satu tahun kehidupan "normal". Akibatnya, setiap pemogokan mengandung elemen-elemen revolusi dan sebuah revolusi adalah apa yang teradapat dalam sebuah pemogokan dalam skala besar dan luas. Banyak proses-proses yang muncul di dalam kelas bersifat analog, meskipun dua hal tadi berbeda secara kualitatif. Tetapi di masing-masing keduanya elemen kuncinya adalah partisipasi aktif dan sadar dari kelas pekerja, yang mulai mengambil alih nasibnya ke tangannya sendiri daripada menyerahkannya kepada orang lain &endash;para pemimpin serikat pekerja, anggota parlemen, anggota dewan, dan birokrat. Inilah esensi sosialisme atau, lebih tepatnya, esensi kekuatan pekerja.

Sosialisme adalah demokratis atau ia bukan apa-apa. Sejak awal mula revolusi sosialis, mestilah ada rezim yang paling demokratis, sebuah rezim yang akan berarti bahwa untuk pertama kalinya semua tugas-tugas mengenai menjalankan industri, masyarakat, dan negara akan berada di tangan mayoritas masyarakat, kelas pekerja. Melalui komite-komite mereka yang dipilih secara demokratis (soviets), yang dipilih secara langsung di tempat kerja serta tunduk atas recall sewaktu-waktu, para pekerja akan menjadi tuan dari masyarakat bukan hanya namanya saja, tetapi juga dalam kenyataan. Ini adalah posisi kaum pekerja di Rusia setelah Revolusi Oktober. Marilah kita ingat kembali bahwa Lenin meletakkan 4 syarat utama bagi sebuah negara kaum pekerja &endash;yaitu, untuk periode transisi antara kapitalisme dan sosialisme:

1) pemilihan umum yang bebas dan demokratis dengan hak recall terhadap semua pejabat

2) tidak ada pejabat yang pantas menerima gaji yang lebih tinggi daripada seorang pekerja yang ahli

3) tidak ada tentara yang berjaga kecuali rakyat yang dipersenjatai

4) secara bertahap, semua tugas-tugas menjalankan negara harus dilakukan oleh massa di atas basis yang bergilir.

Ketika setiap orang menjadi birokrat pada gilirannya, maka tidak ada orang yang menjadi birokrat. Atau, sebagaimana Lenin menyatakan, "Sembarang penggodok ide harus bisa menjadi perdana menteri."

Hanya di atas basis demikianlah masyarakat dapat mulai bergerak dalam arahan sosialisme &endash;tahap tertinggi masyarakat manusia yang Engels gambarkan sebagai loncatan kemanusiaan dari wilayah keharusan menuju wilayah kebebasan. Secara jelas sebuah perkembangan yang demikian menuntut adanya sebuah perkembangan yang tinggi dalam kekuatan-kekuatan produktif. Itulah mengapa Marx dan Engels berpikir bahwa revolusi sosialis akan bermula di Perancis, dilanjutkan di Jerman, dan berakhir di Inggris. Pada waktu itu kelas pekerja hanya ada di negara-negara ini. Marx dan Engels, dan bahkan Lenin sampai pada tahun 1917, bahkan tak membayangkan kemungkinan kelas pekerja pertama kali muncul sebagai kekuatan justru di sebuah negara terbelakang. Sosialisme menuntut sebuah tingkat tertentu dari perkembangan industri, pertanian, ilmu pengetahuan, dan teknik, di dalam bingkai kerjanya. Hanya di atas basis inilah para pekerja bisa memiliki waktu bebas secukupnya &endash; di atas basis pengurangan hari kerja&endash; untuk berpartisipasi dalam menjalankan masyarakat dan negara.

Bagaimanapun, situasi telah berubah secara radikal setelah kematian Marx dan Engels, disebabkan oleh kedatangan imperialisme, tahap tertinggi dari kapitalisme sebagaimana dianalisa oleh Lenin dalam bukunya yang terkenal dengan judul sama. Lenin menjelaskan bahwa satu dari gambaran-gambaran utama dari imperialisme adalah ekspor kapital dari negara-negara maju ke negara-negara kolonial dan negara-negara semi-jajahan. Di atas basis hukum 'perkembangan gabungan dan tak seimbang', sebuah kelas pekerja yang perkasa tumbuh di negara-negara terbelakang seperti Rusia yang Tsarist, sebuah fakta yang tidak mengubah karakternya sebagai sebuah negara yang terbelakang, semi feodal, dan semi jajahan. Persoalan-persoalan utama dari polemik di antara tendensi-tendensi yang berbeda dari gerakan buruh Rusia sebelum 1917 adalah setepatnya merupakan karakter dari Revolusi Rusia dan relasi antar kelas dalam revolusi. Tak dapat disangkal, teori yang mengantisipasi dan menjelaskan apa yang sungguh-sungguh terjadi di tahun 1917 telah dikerjakan oleh Trotsky.

Sabtu, 17 November 2007

Nasionalisme Untuk Indonesia

Indonesia sekarang dalam keadaan hancur bahkan sangat memprihatinkan. Ini semua dikarenakan individu – individu manusia yang sampai saat ini menginjak Tanah Air Indonesia itu sendiri. Individu – individu yg tidak memiliki rasa nasionalisme sama sekali,!!!!! individu yang sama sekali tidak pernah bangga dengan tanah air INDONESIA !!!!! yang diperjuangkan oleh para pejuang pada zaman kemerdekaan dengan mengorbankan segalanya baik materi atau non- materi. Mereka hanya bermodalkan dengan rasa nasionalisme yang tinggi dan merasa memiliki Indonesia sebagai mana mereka memelihara dirinya. Seharusnya kita sebagai individu yang sampai saat ini hidup yang masih menginjak tanah Indonesia yang dulunya sangat memiliki nama yang besar, memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Kita sudah terlalu lama lupa akan rasa kecintaan pada bangsa Indonesia yang seharusnya kita perjuangkan dengan segala kemampuan yang kita punya. Kita sebagai Individu yang menyandang sebagai Warga Negara Indonesia seharusnya malu pada diri sendiri apalagi pada orang lain karena kita berdiri hanya sebagai jiwa yang kosong dan hampa tanpa ada sedikitpun kecintaan pada bangsa yang telah menampung jiwa dan memperjuangkan jiwa kita agar bisa tetap hidup dalam naungan hukumnya. Sekarang lah saatnya kita bergerak untuk Negara, jangan hanya bisa memprotes, mengeluh, ngritik, apalagi menompangkan dagu. Sekaranglah saatnya kita memperbaiki individu kita masing – masing. Seharusnya kita bisa belajar dari semangat nasionalisme yang dimiliki oleh para pejuang Indonesia. Mereka tidak meminta apapun dari kita mereka cuma meminta untuk dikenang dan mereka menginginkan kita sekarang mengerti “ untuk apa mereka gugur dalam perjuangan”.!!!!

Wahai individu yang merasa sebagai Warga Negara Indonesia kenapa kalian harus malu untuk mengakui bahwa kita adalah INDONESIA. Kita harus percaya pada kemampuan bangsa kita dalam segala bidang, kita memiliki potensi yang melimpah, sekaranglah saatnya kita buat Bendera Merah Putih Berkibar Untuk Selama – lamanya.

Indonesia adalah tanah air kita, tanah tumpah darah kita jadi seharusnya kita sebagai Individu yang tidak pernah merasa malu berdiri di atas bumi Indonesia!!! Bergerak untuk melakukan perubahan. Yakinlah pada hati nurani kalian masing – masing bahwa Indonesia adalah Negara yang tidak sepantasnya berada pada kondisi seperti sekarang ini. Tapi perubahan TIDAK AKAN PERNAH TERJADI apabila kita sebagai Warga Negara Indonesia tidak berbakti pada tanah air kita tercinta Indonesia!!!!

Sahabatku, kalau kalian menginginkan Indonesia jaya, MARI !!!! kita keluarkan segala potensi yang kita miliki jangan hanya berdiam diri dan hanya bisa menonton apa yang terjadi. Lakukan apa yang menurut kalian benar dan buanglah apa yang menurut kalian salah. Kalau kalian berpikir intervensi dari Negara lain itu salah mari kita perjuangkan hak bangsa kita. Tapi kalau menurut kalian itu benar perjuangkan sesuai dengan kemampuan yang kalian miliki untuk membuat bangsa kita tersenyum akan hasil dari potensi yang kita miliki.

MOVE TOGETHER!!!!!!!

WE LOVE INDONESIA!!!!

INDONESIA IS OUR NATION!!!!

Nb: renungkanlah sahabat….

Dinamika Kawasan Asia Timur

Oleh Asep Setiawan

(maaf mas Asep saya masukin Karya anda di blog saya)

Pendahuluan

Kawasan Asia Timur merupakan ajang pertarungan negara-negara besar sejak sebelum Perang Dunia I. Pada era kolonialisme kekuatan dari Eropa bertarung memecah belah Cina. Inggris, Jerman, Belanda dan Portugal adalah beberapa negara yang ikut memasuki kawasan Asia dalam rangka misi imperialismenya. Bahkan sebagian besar kawasan Asia Timur jatuh ke tengan kolonial mulai dari Asia Tenggara sampai dengan Cina.

Ketika pecah Perang Dunia II, negara-negara besar bertarung kembali memperbutkan jalur strategis dan sumber alam yang kaya di kawasan ini. Tidak hanya itu bahkan banyak negara berpindah tangan dari satu penjajah ke penjajah lain. Menjelang pecah Perang Dunia II, Dunia terbagi kedalam kekuatan sekutu dan poros Jepang-Jerman.

Dampak persaingan itu sangat kuat. Jepang menguasai Asia dengan dalih membebaskan diri dari kekuasaan Eropa. Tapi pada kenyataannya, Jepang memperlakukan bangsa Asia sebagai daerah jajahan. Di Eropa, Jerman berambisi menguasai Eropa dengan menjajah Perancis, Ceko, Polandia dan bahkan akan menguasai Rusia.

Setelah Perang Dunia II, Asia Timur menyaksikan Perang Dingin yang menakutkan. Kawasan ini terbelah dua besar plus dengan negara netral yang bergabung kedalam Gerakan Non Blok. Satu kubu terang-terangan dan menjalin alianis dengan Barat. Kubu lain lain memilih berpaling ke Uni Soviet untuk memenuhi kepentingan nasional masing-masing.

Dengan perjalanan historis yang sedemikian panasnya di kawasan Asia, maka pada masa pasca Perang Dingin pun tidak terkecuali menjadi ajang perebutan pengaruh. Namun demikian aktor-aktornya mengalami perubahan meskipun tidak begitu drastis.

Artikel ini akan mengkaji Asia Timur, pertama, anggota inti dari kawasan ini sebagai sebuah entitas dari sudut pandang geografis. Kedua, persaingan politik dan dinamika di Asia dalam konteks waktu.

Sebelum mengkaji tentang Asia Timur dalam arti geopolitik dan percaturan aktor-aktornya, terlebih dahulu meminjam istilah Sheldon W Simon yang menulis kawasan ini dari pendekatan sistem. Ia menilai sebuah regional dari konsep yang diajukan oleh William Thompson tentang sebuah kawasan.

Dalam definisinya Thompson menyebutkan bahwa sebuah kawasan sedikitnya memiliki 11 ciri.

1. Pola interaksi yang ajeg.

2. Keterkaitan sehingga perubahan dalam satu satu komponen sistem akan mempengaruhi titik lainnya.

3. Identifikasi diri

4. Pengakuan eksternal sebagai aktor menentukan

5. Anggota sistem berupa negara secara relatif inferior terhadap sistem global

6. Tunduk terhadap sistem dominan seperti perubahan dalam sistem dominan akan memiliki pengaruh besar terhadap sisten regional, bukannya sebaliknya. Semakin intensif penetrasinya oleh sistem global terhadap sistem regional bukan sebaliknya

7. Ada sejumlah ikatakan etnik, linugistik, kultural, historis yang sama

8. Hubungan institusional yang eksplisit

9. Otonomi yakni lebih dominannya tindakan intra sistem atas pengaruh eksternal

10. Keseimbangan regional kekuatan-kekuatan lokal.

11. Status perkembangan yang sama

Dari sejumlah ciri-ciri konseptual yang diajukan Thmopson itu terlihat adanya gejala-gejala yang muncul di Asia Timur. Misalnya, ketundukan terhadap sistem dominan terlihat ketika Perang Dingin meletus menjadi perang sungguh-sungguh di Semenanjung Korea. Bahkan sampai menjelang abad ke-21, Jazirah Korea masih terbagi dua antara komunis dan kapitalia.

Batas-batas Asia Timur

Ada berbagai pendapat mengenai batasan-batasan wilayah Asia Timur. Pada umumnya wilayah ini dibagi dua subregional yakni Asia Timur Laut dan Asia Tenggara. Mereka yang tergolong kepada Asia Timur Laut yakni Jepang, Korea Selatan, Korea Utara, Cina, Taiwan dan Hongkong.

Sedangkan kawasan Asia Tenggara meliputi dua wilayah besar pula yakni Asia Tenggara kepulauan dan Asia Tenggara daratan. Asia Tenggara kepulauan memiliki sejumlah anggota yakni Indonesia, Filipina, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Negara yang tergolong pada Asia Tenggara daratan terletak di Indocina yang meliputi Thailand, Vietnam, Laos, Kamboja dan Myanmar.

Selain adanya pembatasan dua kawasan subregional berdasarkan pendekatan geografis, terdapat pula kesamaan kultural dari dua subkawasan ini. Asia Timur Laut lebih banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Cina.

Sedangkan kawasan Asia Tenggara meskipun juga mengalami pengaruh Cina tetapi juga mendapatkan imbas secara kultural dari India. Karena letaknya diantara dua samudera dan di lintasan berbagai peradaban dunia, maka Asia Tenggara terbuka terhadap masuknya kebudayaan dari India, Cina, Arab dan bahkan Barat. Oleh sebab itu pada awal pertama, kebudayaan India mendominasi Asia tenggara terutama dalam bentuk pemerintahan. Sebelum masuknya kebudayaan India, kebanyakan kebudayaan di Asia Tenggara berdasarkan budaya yang tergantung kepada alam diantaranya pertanian.

Anggota inti

Untuk mengkaji aktor-aktor dalam sistem regional Asia Timur ini Simon membagi dua kategori yakni anggota-anggota inti (core members) dan anggota pinggiran (periperal members). Alasan pembagian dua golongan itu ditentukan atas dasar faktor politik dan ekonomi.

Istilah anggota inti merujuk pada negara-negara yang politik luar negerinya menunjukkan daya jangkau dan jarak yang mempengaruhi banyak unsur sistem di kawasan ini. Sedangkan istilah elemen pinggiran merujuk pada kemampuan ekonomi; pergangan yang potensial dan sekarang ; serta hubungan perdagangan dan investasi dengan angota inti dan yang lainnya.

Menurut Simon terdapat empat anggota utama Asia Timur yakni Jepang, Cina, Indonesia dan Vietnam. Ia mengambil kesimpulan itu setelah melihat sejumlah indikator mulai dari jumlah penduduk, ekonomi dan volume perdagangannya.

Dua negara besar yang berperang besar dalam pembentukan kawasan ini adalah Cina dan Jepang. Cina dengan penduduk 1,2 milyar jiwa saat ini dan Jepang dengan penduduk 126 juta termasuk menonjol. Jika Cina memiliki kapasitas yang bisa jadi negara besar di masa mendatang karena pertumbuhan dan stabilitas ekonominya, Jepang sudah membuktikan diri sangat kuat dalam ekonomi. Setelah dilanda krisis pendapatan perkapita Jepang masih besar sekitar 33.800 dollar AS per jiwa pertahun. Sedangkan Cina mulai menanjak dengan pendapatan perkapita 738 dollar AS. Indonesia sendiri setelah krisis ekonomi dan politik GNP perkapita sekitar 981 dollar AS.

Anggota pinggiran

Menurut Simon, negara-negara periperal atau pinggiran adalah yang tidak tampak memprakarsai perkembangan politik kawasan. Namun mereka terpengaruh oleh kecenderungan regional. Dengan kata lain meskipun aktor-aktor ini eksis di kawasan namun karena kapabilitas politik, militer dan ekonomi tidak begitu siginifikan maka faktor-faktor aktor utama sering mempengaruhi perilaku eksternal mereka.

Anggota pinggiran suatu kawasan tampaknya banyak menyesuaikan diri dengan aktor dominan regional. Mereka biasanya mengakomodasi kepentingan negara besar atau yang berpengaruh di kawasannya. Bila timbul keteganganpun biasanya aktor dalam kawasan ini mencari pelindung kepada aktor dominan sistem internasional untuk mengimbangi aktor lainnya yang mengancam dirinya.

Salah satu aktor pinggiran yang kita bisa ambil contohnya Korea Utara dan Selatan. Korea Utara pada dasaranya dibentuk oleh kekuatan komunis yang waktu Perang Dingin didominasi oleh RRC dan Uni Soviet. Sampai kini sisa-sia kekuatan komunis garis keras masih tampak meskipun dua majikannya sudah menyatakan diri mengikuti garis kapitalis.

Uni Soviet bubar tahun 1991 menjadi 15 negara dan kemudian memeluk kapitalisme karena komunisme hanya melahirkan kemiskinan dan ketakutan akan perang nuklir. Majikan kedua, Cina juga sudah meninggalkan Marxisme garis keras tetapi mulai memodifikasinya dengan menggunakan sosialisme dengan karakteristik Cina. Namun pada intinya sistem yang dianut Cina inipun sudah mulai menggunakan sebagian dari gagasan-gagasan dasar kapitalisme dengan mengijinkan swasta beroperasi. Bahkan di kawasan ekonomi khusus seperti di Pudong, Shanghai, negara asing bisa investasi 100 persen dengan keuntungan 100 persen diambil.

Namun ironisnya, Korea Utara sendiri masih menggenggam komunis garis keras dengan harapan bahwa ajaran ideologinya bisa memberikan kemakmuran. Bahkan untuk mengurangi serangan dari kapitalisme dunia, Korut sama sekali menutup pintunya dari penetrasi asing. Meskipun anggota pinggiran namun sejauh ini tindakannya masih ditentukan dari dalam. Artinya, pemimpin lama Kim Il Sung sangat menentukan arah yang diambil Korut. Demikian pula penggantinya, Kim Jong Pil juga mengikuti jejak ayahnya dengan menutup diri dari perkembangan dunia luar.

Sedangkan aktor periperal kedua yang diambil contohnya di sini adalah Korea Selatan. Dengan penempatan sedikitnya 30.000 tentara AS di Korsel sudah menunjukkan karakter negara periperal dimana akibat ancaman terhadap dirinya meminta bantuan asing. AS tidak hanya menempatkan tentaranya tetapi juga perangkat keras militer seperti persenjataan artileri, pesawat, rudal dan kapal. Situasi dalam negeri Korsel ini menunjukkan betapa aktor pinggiran itu ditentukan oleh aktor dominan regional dan internasional.

Dalam tingkat tertentu, aktor periperal di Asia Tenggara yang dicontohkan Simon adalah Thailand. Hal ini disebabkan sudah lama Thailand karena merasa ancaman terhadap eksistensinya muncul dari negara komunis Vietnam maka ia menoleh ke AS. Perjanjian militer AS-Thailand sudah sangat erat, persis seperti terjadi dengan adanya pangkalan militer AS di Subic dan Clark sebelum tahun 1992.

Kesimpulan

Asia Timur merupakan sebuah kawasan yang memiliki anggota inti dan periperal. Pembagian ini untuk menilai siapakah aktor-aktor penting dalam kawasan ini sehingga memudahkan analisa tentang kecenderungan di wilayah ini. Di Asia Timur Laut, aktor dominan di pegang Jepang dan Cina. Sedangkan di Asia Tenggara bisa dikatakan, Indonesia dan Vietnam memiliki prakarsa yang dominan dalam percaturan politik di kawasan ini.

Daftar Pustaka

Rudy, Teuku May Drs SH MA MIR., Studi Kawasan. Bandung: Bina Budhaya1997.

Simon, Sheldon W., East Asia dalam World Politics oleh Rossenau. New York, Free

Press, 1987.

Soesastro, Hadi dan AR Sutopo, Strategi dan Hubungan Internasional. Jakarta, CSIS

1981.

Kegley, Charles Jr dan Eugene R Witkopf, World Politics. New York: St Martin’s

Press, 1993.

Morgan, Patrick M., Theories and Approaches to International Politics. New

Brunswick, transaction Books, 1987.

ASEAN, integrasi, dan politik elitis

Semua orang mungkin tahu keberadaan ASEAN, ada banyak orang bermimpi bahwa ASEAN akan menjadi fondasi dasar integrasi menyeluruh ala Uni Eropa. Tapi harus diingat, pada dasarnya, ASEAN, seperti halnya Uni Eropa, terbentuk dari kerjasama ekonomi yang belum memikirkan integrasi sebagai tujuan utama pembentukan kerjasama kawasan.

Uni Eropa memiliki fundamen European Steel and Coal Community yang memang pada awalnya dibentuk dengan tujuan membuat suatu badan yang supranasional. Namun tidak halnya dengan ASEAN, mungkin karena negara-negara anggota ASEAN saat itu baru memperoleh kemerdekaannya setelah beberapa tahun atau beberapa dekade, ide Supranasionalisme tidak dibawa karena menyinggung isu kedaulatan. ASEAN dibentuk dengan prinsip non intervensi yang membuat badan ini secara institusional, sama lemahnya dengan Majelis Umum PBB, sebuah badan intergovernmental yang tidak memiliki kekuatan mengikat.

Pada tahun 1992, ide Asean Free Trade Area diusungkan agar meningkatkan volume perdagangan antar sesama negara ASEAN. Perjanjian yang ditandangani di Singapura ini ditujukan agar pada tahun 2003, tarif impor tiap negara bisa berkisar antara 0-5%. Dan komitmen itu terpenuhi setidaknya, dari seluruh anggota ASEAN, hanya Laos yang menetapkan tarif impor sebesar 5%, sedangkan anggota lain sudah menurunkan nilainya yang makin mendekati 0%.

Namun untuk Integrasi secara keseluruhan, tampaknya masih jauh. Pasalnya, komoditas dan kesenjangan yang dimiliki antar sesama negara ASEAN cukup jauh. Lihatlah perbedaan GDP per kapita Singapura yang mendekati 30,000 dollar dengan milik Myanmmar yang hanya 200 dollar. Ada kesenjangan pendepatan yang mencapai 150 kali lipat.

Emmanuel Wallerstein pernah menulis mengenai World System Theory. Di dunia ini, negara bisa dibagi menjadi tiga, yakni core state, periphery state, dan semi-periphery state. Core state umumnya diasosiasikan sebagai negara-negara maju yang mengimpor komoditas primer dari periphery state, dan semi-periphery state berakhir menjadi negara-negara manufaktur yang menengahi antara periphery state dan core state.

Jika Integrasi ASEAN dipaksakan, mungkin hal itulah yang terjadi. Statistik ASEAN mengatakan bahwa Singapura dan Brunei merupakan negara terkaya di kawasan (walau Brunei cukup tertinggal dibandingkan Singapura, Foregin Direct Investment-nya termasuk kecil) dan berpotensi menjadi core state. Malaysia, Thailand, Indonesia, Filipina menjadi negara semi periphery, dan empat negara tersisa, Kamboja, Laos, Myanmmar, dan Vietnam akan menjadi periphery.

Jika integrasi dipaksakan, kemungkinan besar, akan terjadi kesenjangan yang semakin besar antara negara ASEAN. Hal yang ironis seandainya negara ASEAN saling melakukan kolonialisasi dengan tetangganya sendiri.

ASEAN pun kerap dikritik akan sifat tertutup dan sarat dengan politik elitis. Anda pernah mengunjungi situs ASEAN? Pernakah terpikirkan pertanyaan kenapa ASEAN tidak mau melokalisasikan situs miliknya ke dalam 10 bahasa anggota negara ASEAN? Memang, bahasa Inggris diakui sebagai lingua franca bahasa ASEAN yang secara historis dijajah oleh negara-negara berbeda, namun apakah ini berarti penduduk yang tinggal di ASEAN tidak memiliki hak untuk mengetahui ASEAN lebih dalam? Untuk mengalami interaksi antar kultur pada sesama negara ASEAN?

Politik elitis memang masih merupakan ciri utama ASEAN. Ketidakadanya keinginan membuat ASEAN membumi seperti Uni Eropa akan membuat integrasi kultural akan sangat lama, atau mungkin tak akan pernah terjadi.

Dampak bantuan Tsunami

Tsunami Asia tanggal 26 Desember 2004 telah menghancurkan kehidupan dan hampir seluruh komunitas pantai di kawasan Samudera India. Dalam hitungan menit gempa bumi yang berkekuatan 9,0 skala Richter melanda daerah pantai barat Sumatra bagian Utara di Indonesia, tsunami terbesar pertama menghantam kawasan pantai ini dengan dampak yang cukup parah, khususnya antara Banda Aceh dan Meulaboh di wilayah Aceh. Tekanan yang cukup dahsyat dari dasar laut juga menimbulkan tsunami yang menghantam komunitas pantai di beberapa daerah di Thailand, Burma, Malaysia, Sri Lanka, India bagian timur dan Maladewa dengan kerugian harta benda dan nyawa yang luar biasa. Setelah bencana alam ini, sekitar 290.000 orang tewas atau hilang, dan lebih dari satu juta orang mengungsi di 12 negara yang menjadi korban.

Dengan banyaknya pemberitaan oleh media massa di seluruh dunia tentang bencana ini, berbagai bantuan kemanusiaan secara besar - besaran dan bantuan dari berbagai perusahaan swasta maupun secara pribadi, dari berbagai LSM dan dari pemerintah pusat negara yang menjadi korban maupun negara – negara lainnya pun berdatangan. Berbagai ahli internasional di bidang koordinasi dan pengiriman bantuan serta pertolongan dalam kondisi tangggap darurat kemanusiaan yang cukup kompleks dikerahkan dan disebarkan ke daerah-daerah yang dilanda bencana. Di banyak tempat, besarnya skala kerusakan menimbulkan permasalahan logistik yang cukup sulit terutama dalam pengiriman bantuan kemanusiaan yang mendasar bagi masyarakat korban dan dalam beberapa kasus pihak militer nasional dan militer asing dibutuhkan untuk mengakses masyarakat yang menjadi korban. Tantangan besar lainnya dalam tahap tanggap darurat juga muncul dari banyaknya masyarakat yang mengungsi. Hal ini khususnya terjadi di Aceh, mereka yang selamat banyak yang pindah dari daerah yang terkena musibah ke tempat – tempat umum maupun ke tengah – tengah komunitas masyarakat lainnya, keluarga penampung, tenda – tenda penampungan sementara serta rumah-rumah sementara lainnya.

Pemetaan situasi dan lokasi keberadaan mereka yang selamat tidaklah mudah. Pemerintah pusat, para donor internasional dan organisasi-organisasi kemanusiaan mengerahkan cukup banyak energi untuk mendata ruang lingkup dan luasnya dampak tsunami – antara lain meliputi rumah-rumah yang rusak, hewan ternak yang musnah dan mata pencaharian yang hilang; seperti kehilangan harta benda, hak atas tanah dan dokumen-dokumen penting lainnya, serta kerusakan berbagai infrastruktur publik. Perkembangan penilaian kerusakan, survey dan pemetaan, serta gambaran berdasarkan pengetahuan para ahli, memberikan panduan dalam penyusunan rencana rehabilitasi dan rekonstruksi dari para donor dan pemerintah pusat.

Selain isu-isu koordinasi dan kemampuan penanganan tanggap darurat kemanusiaan yang cukup kompleks, cukup penting pula untuk memfokuskan kembali perhatian kepada ruang lingkup, arah dan langkah-langkah dalam upaya pemberian bantuan dan pelaksanaan rekonstruksi yang masih melekat dalam hubungan kekuatan yang kompleks yang terbentuk oleh situasi politik nasional dan daerah di wilayah yang terkena bencana. Perbedaan respons / tanggap darurat terhadap dampak langsung yang luar biasa dari bencana alam yang dahsyat di 12 negara ini, dengan perbedaan dinamika politik, ekonomi dan sosial mereka masing-masing, telah membawa dampak yang luar biasa terhadap situasi politik keseharian dalam pelaksanaan upaya kemanusiaan baik secara amatir maupun profesional, serta lokal maupun internasional.

Ditengah-tengah bencana alam dan keadaan darurat yang sebelumnya telah cukup kompleks banyak korban tsunami yang selamat justru menghadapi berbagai kendala. Identitas para IDP dari korban tsunami yang selamat pun sangat rentan dipolitisir dan diperebutkan. Dengan definisi mengenai istilah ‘IDP’[1] yang meliputi mereka yang oleh karena bencana alam terpaksa meninggalkan rumahnya, maka pejabat pemerintah Indonesia dan organisasi-organisasi kemanusiaan internasional terkadang menyebut mereka sebagai ‘tuna wisma’. Perbedaan tersebut memiliki implikasi yang sangat penting untuk pengidentifikasian hak-hak dan jaminan perlindungan dan bantuan bagi masyarakat korban, serta peranan dan kewajiban pemerintah pusat maupun daerah yang ditetapkan dalam UN Guiding Principles on Internal Displacement.

Di Thailand[2], dengan pendekatannya yang bersifat menghukum bagi sekian banyak pengungsi dan penduduk buruh migran dari negara tetangga yaitu Burma, menunjukkan adanya bukti diskriminasi secara de facto oleh pejabat pemerintah lokal dan warga Thailand terhadap warga Burma yang merupakan korban tsunami yang selamat di beberapa provinsi bagian selatan. Dengan dideklarasikannya posisi pemerintah Thailand yang begitu mandiri dalam pengkoordinasian dan pengiriman bantuan darurat pasca tsunami, telah memberikan peluang yang tak tertandingi bagi Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, dan partai politiknya Thai Rak Thai (Rakyat Thai mencintai Thailand) untuk melakukan kampanye pemilu pada tanggal 6 Pebruari 2005, dimana para buruh migrant Burma pun relative terisolir dari sumber-sumber alternatif bantuan dan dukungan, termasuk bantuan dari pemerintah mereka sendiri yang dikoordinir oleh pihak militer. Para buruh migrant Burma tidak dimasukkan dalam pendistribusian bantuan darurat dan pelaksanaan program bantuan dari pemerintah Thailand oleh para pejabat lokal, dan target penangkapan ‘para buruh migran illegal’ oleh polisi setempat juga merebak pascatsunami, yang dalam beberapa kasus dideportasi kembali ke Burma.

Dalam kasus India[3], dimana pemerintah juga menolak berbagai tawaran respons tanggap darurat yang dikoordinir oleh lembaga kemanusiaan internasional, terdapat bukti – bukti diskriminasi yang dilakukan oleh para pejabat lokal maupun masyarakat seperti dalit (disebut juga sebagai mereka ‘yang tak tersentuh’) di sejumlah daerah yang dilanda tsunami. Terperangkap dalam struktur sosial yang berdasarkan tingkatan kasta dan dominasi, menurut laporan, para dalit yang selamat kurang diterima di rumah – rumah maupun di tempat-tempat penampungan sementara (kasta yang lebih tinggi) para IDP dari komunitas nelayan, beberapa dalit bahkan diusir. Terdapat pula bukti bahwa para IDP lainnya menghalangi pejabat pemerintah, staff LSM dan kelompok sosial kemasyarakatan lainnya dalam pendistribusian bantuan darurat untuk para dalit.

Dalam kasus Sri Langka[4], dengan semakin ramainya ahli yang masuk, maka kehidupan pasca-tsunami semakin tampak seperti perusahaan yang sedang diambil alih. Ikan kecil ditelan oleh ikan besar. Struktur masyarakat dan organisasi terabaikan disaat para staff lembagalembaga baru mulai melancarkan operasinya sendiri. Harga pasar local untuk sewa rumah membumbung tinggi dan tingginya nilai mata uang telah mengubah pasar tenaga kerja. Dalam hitungan hari lembaga-lembaga tersebut mengatakan bahwa seakan-akan mereka telah bekerja di Sri Lanka selama berabad-abad dan meyakinkan masyarakat bahwa setelah penilaian awal selesai dilakukan mereka akan segera mengetahui apa yang harus dilakukan. Keyakinan mereka begitu menyesakkan. Salahsatu LSM bahkan mengklaim bahwa mereka akan merehabilitasi semua yang ada di daerah tersebut dalam tempo tiga bulan. Akan tetapi hal tersebut masih belum terealisasi sepenuhnya.

Dimensi penting lainnya dari respons darurat tsunami berasal dari kekuatan strategis militer di beberapa daerah terparah, khususnya di Aceh, provinsi bagian Utara dan Timur Sri Lanka serta Kepulauan Nicobar di India. Aceh telah dimiliterisasi secara besar-besaran dengan ditempatkannya 40.000 tentara sejak ditetapkannya status darurat militer pada bulan Mei 2003. Dengan adanya relokasi secara paksa ke kamp-kamp yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kampanye anti-pemberontakan baru-baru ini,

Peranan pasukan militer Indonesia dalam pendistribusian bantuan darurat pasca-tsunami, serta dalam pengkoordinasian relokasi IDP ke ‘barak-barak’ yang cukup kontroversial, secara serius telah mengancam prinsip-prinsip bantuan kemanusiaan dalam beberapa kasus. Lebih lanjut, pada kasus di Sri Lanka yang merupakan daerah yang ikut dilanda tsunami dengan sebutan ‘daerah yang tidak jelas’ yang berada di sepanjang pantai yang dikontrol oleh Organisasi Pembebasan Macan Tamil Eelam (LTTE), pelaksanaan operasi pemberian bantuan pun terhambat karena pemerintah di Colombo telah melarang keras mekanisme apapun yang ingin melangkahi kewenangan pusatnya. Tidak adanya respons dari pemerintah pusat juga tampak dari kasus Somalia. Dan akhirnya, di kepulauan Nicobar, yang merupakan basis strategis angkatan laut India, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa bantuan tsunami dan berbagai upaya rehabilitasi dilaksanakan oleh pihak militer, dan mereka mengabaikan masyarakat asli yang menjadi korban serta melanggar administrasi masyarakat sipil lokal.

Dengan banyak terlibatnya aktor kemanusiaan dalam pemberian bantuan tsunami dan pelaksanaan rekonstruksi yang mulai mengevaluasi setiap respons, diharapkan bahwa penilaian-penilaian tersebut akan menawarkan perspektif yang cukup kritis dan komparatif terhadap berbagai respons yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang beroperasi di dua daerah bencana atau lebih, yang tentunya harus menghadapi perbedaan dan berbagai tantangan politis yang berbeda pula. Lamanya keberadaaan UNHCR dan badan-badan PBB lainnya di Sri Lanka sebelum tsunami menunjukkan perbedaan yang cukup kontras dengan Aceh, khususnya menyangkut sejauh mana implikasi dari upaya-upaya bantuan yang telah dilancarkan. Kekhawatiran tentang permasalahan dalam pemenuhan hak-hak para IDP akibat bencana untuk mendapatkan perlindungan telah menarik perhatian menyangkut hubungan antara kekuasaan dan politik dimana IDP terikat didalamnya.



[1] Eva-Lotta Hedman, Research Fellow di Refugee Studies Centre, University of Oxford.

[2] www.unhchr.ch/html/menu3/b/a_cescr.htm

[3] K.M. Parivelan (aktivis kemanusiaan, juga bekerja pada kantor UNHCR di Chennai, Tamil Nadu)

[4] Irene Fraser bekerja di Sri Lanka untuk sebuah LSM internasional yang cukup besar.

Kyoto Protokol

Protokol Kyoto adalah sebuah perjanjian dari negara-negara di seluruh dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Protokol Kyoto diprediksikan akan mengurangi emisi gas rumah kaca di negara-negara industri sebesar 5.2% dibandingkan keadaan pada tahun 1990. Tetapi dibandingkan dengan tanpa adanya Protokol Kyoto, target ini berarti pengurangan emisi sebesar 29%. Protokol Kyoto juga bertujuan untuk membantu negara-negara berkembang dalam proyek-proyek yang berhubungan untuk memperbaiki keadaan iklim bumi.

Pada protokol Kyoto juga diberlakukan sistem jual beli emisi. Setiap negara-negara industri yang setuju dengan Protokol Kyoto dapat melakukan jual beli emisi untuk menjual atau membeli batas emisi sesuai Protokol Kyoto. Misalnya, Rusia yang saat ini memiliki emisi gas rumah kaca di bawah kuota, dapat saja menjual ‘emisi’ kepada Kanada yang emisinya di atas kuota Protokol Kyoto.

Negara-negara juga dapat menerima bantuan dalam bentuk carbondioxide sink. Carbondioxide sink adalah kebalikan dari sumber karbon. Carbondioxide sink berfungsi untuk menjerat karbon dari atmosfer bumi. Contoh-contoh carbondioxide sink adalah:

  • Hutan. Pohon-pohon menyerap karbondioksida dan mengeluarkan oksigen.
  • Lautan. Lautan dapat menyimpan karbondioksida, sedangkan plankton-plankton akan mengkonversi karbondioksida menjadi oksigen.
  • Pemampatan geologis, yaitu penyimpanan limbah karbondioksida pada lapisan bumi.

Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan dan lautan yang luas sangat berpotensi untuk mendapatkan bantuan ini. Mudah-mudahan dengan adanya Protokol Kyoto, pemerintah dapat mengurangi laju pengrusakan hutan yang sangat memprihatinkan.

Setelah masuknya Rusia pada tanggal 18 November 2004, Protokol Kyoto akan aktif mulai tanggal 16 Februari 2005 ini. Indonesia sendiri sudah mendukung Protokol Kyoto sejak 24 Juni 2004.

Sayangnya, tidak semua negara setuju dengan adanya Protokol Kyoto. Negara maju yang tidak setuju adalah: Amerika Serikat, Australia, Kroasia, Liechtenstein, Monaco, Swiss. Amerika Serikat yang merupakan negara yang paling banyak mengeluarkan emisi gas rumah kaca sepertinya tidak punya niatan untuk memperbaiki kondisi bumi (dalam hal ini, maupun tentunya hal-hal lainnya). Sikap Amerika Serikat juga mempengaruhi negara-negara lain seperti Kanada dan Australia dalam menyikapi Protokol Kyoto.

Untuk mengkampanyekan dukungan terhadap Protokol Kyoto di Amerika Serikat, ada gerakan untuk mendukung Protokol Kyoto yang dilakukan oleh beberapa universitas terkemuka di Amerika Serikat. Gerakan ini dinamakan Kyoto Now!.

Tanpa Amerika Serikat pun, saat ini sudah ada 127 negara yang mendukung Protokol Kyoto, merepresentasikan 61% dari seluruh emisi gas rumah kaca di seluruh dunia. Mudah-mudahan anggota Protokol Kyoto lama kelamaan dapat mempengaruhi Amerika Serikat untuk mendukung Protokol Kyoto ini.

Sudan vs Konflik

Republik Sudan adalah sebuah negara di Afrika timur laut yang merupakan negara terbesar di Afrika dan seringkali masih dianggap bagian Timur Tengah. Ibukotanya di Khartoum.

Sudan memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1956. Dua tahun kemudian sebuah kudeta militer menggulingkan pemerintah sipil yang dipilih, dan antagonisme antara daerah utara yang Muslim dan daerah selatan yang Kristen dan Animist mulai mengemuka. Negara terbesar di benua Afrika ini baru menikmati masa damai dan demokrasi selama 11 tahun semenjak kemerdekaannya itu.

Kudeta, makar, revolusi dan perang saudara banyak mengisi sejarah pasca kemerdekaan Sudan. Tetapi masa satu tahun, pada 1983, mempunyai arti khusus. Hukum shariah diundangkan dan pemerintah Sudan mengusahakan terbentuknya sebuah negara Islam - cita-cita yang tidak pernah disetujui oleh daerah Selatan. Hal tersebut merusakkan suasana yang relatif stabil, yang diletakkan dasarnya melalui persetujuan damai Addis Ababa tahun 1972, yang menetapkan pembentukan sebuah pemerintah daerah untuk Sudan Selatan. Ironisnya, perundingan yang sebetulnya cukup berhasil antara Utara dan Selatan ini, dalam masa dua tahun belakangan ini telah kembali ke gagasan diadakannya pemerintah swa-praja di Sudan Selatan.

Akan tetapi, sementara perundingan berlangsung, sebuah krisis lain pecah di daerah barat di Darfur. Pada awal 2003, kelompok-kelompok pemberontak mulai menyerang sasaran-sasaran pemerintah. Mereka menuduh pemerintah mengabaikan daerah mereka. Sebagai jawabannya, pemerintah memobilisasikan pasukan yang mereka sebut "pasukan milisi pertahanan diri" untuk menghadapi pemberontak itu. Pemerintah Sudan menyebut aksi-aksi kekerasan yang marak setelah itu sebagai "kekacauan kesukuan".

Pertikaian dan perebutan kekuasaan, sudah mewarnai Sudan sejak ribuan tahun silam. Yaitu saat Raja Aksum dari Ethiopia, menghancurkan ibu kota Kerajaan Kush, Meroe. Kota tua itu dibangun raja-raja dari dinasti Mesir yang pertama datang ke Sudan Utara, sekitar tahun 4000 SM. Selanjutnya berdirilah dua kerajaan baru yaitu Maqurra dan Alwa. Pada tahun 1500-an, Maqurra jatuh ke tangan orang-orang Arab bersamaan dengan masuknya Islam ke Sudan. Setelah melakukan perkawinan campuran dengan suku Funj, orang Arab muslim menghancurkan Alwa. Selanjutnya dinasti Funj berkuasa hingga 1821.

Selanjutnya Sudan dikuasai Turki yang saat itu berada di bawah kekuasaan Mesir yang dimotori oleh Inggris. Gubernur Jenderal Muhammad Ali, memerintah secara keras. Rakyat setempat baru dilibatkan dalam pengambilan keputusan saat Muhammad Ali digantikan Ali Khursid Agha. Hingga 1881, tak ada pemimpin yang mengorganisasi upaya perjuangan kemerdekaan Sudan, sampai akhirnya muncul figur Muhammad Ahmad. Pasukannya berhasil menguasai Khartoum pada 26 januari 1885. Namun perjuangan itu dipatahkan oleh pasukan Mesir-Inggris. Kemerdekaan Sudan diperoleh tiga tahun setelah pada Februari 1953, Mesir dan Inggris menyepakati pemberian hak untuk mengatur pemerintahan sendiri.

Pemerintahan di wilayah seluas 2,5 juta km2 dengan penduduk 29 juta itu sendiri tak pernah benar-benar stabil. Perang saudara di Sudan merupakan konflik terpanjang dalam sejarah Afrika. Pada 1972, pernah dicapai kesepakatan damai, tapi itu tak bertahan lama. Konflik menajam antara pemerintah pusat di Sudan Utara yang mayoritas muslim dengan kelompok-kelompok etnis di selatan yang dimotori Tentara Pembebasan Rakyat Sudan (SPLA).

Islam memang menjadi agama yang dianut mayoritas (73 persen) penduduk Sudan. Sementara di selatan, masih banyak yang menganut kepercayaan tradisional (16,7 persen). Sudan berbatasan dengan Mesir dan Libya di utara, Zaire di selatan, Chad dan Ethiopia masing-masing di barat dan timur. Pada Juni 1989, Jendral Omar Hassan Ahmad Al Bashir didukung oleh Dr. Hassan Turabi melakukan kudeta tak berdarah atas pemerintahan presiden Jakfar Numeri. Dwi-tunggal Bashir dan Turabi memimpin Sudan masing-masing sebagai presiden dan ketua parlemen. Besarnya pengaruh Turabi sebagai ketua Partai Kongres Nasional, menimbulkan kecurigaan pada Bashir.

Pada tahun 1991, Pemerintah Sudan mengubah struktur pembagian administratif dari provinsi (mudiriya) menjadi negara bagian federal. Pada 14 Februari 1994, struktur ini dirubah kembali dengan pembentukan 26 negara bagian (wilayah).Pada Desember 1999, Bashir lantas membubarkan parlemen. Tak hanya itu, Turabi juga dipecat dari jabatan ketua partai berkuasa. Turabi membalasnya dengan mendirikan partai baru. Demi mengamankan kekuasannya, Bashir melakukan konsolidasi dan meminta dukungan negara tetangga seperti Mesir, Libya dan negara Barat serta Amerika Serikat. Negara-negara Barat, seperti juga Bashir, memang menilai Turabi sebagai tokoh berbahaya dengan gagasannya menegakkan syariat Islam. Tak heran ketika Turabi masih berpengaruh, Sudan diisolasi dari pergaulan dunia dengan berbagai tudingan miring seperti pelanggaran HAM dan terorisme.

Pertikaian internal di Sudan yang tak kunjung henti, membuat perekonomian negara ini tak berdaya. Apalagi tanah di Sudan utara sangat kering, kecuali sebagian wilayah di sekitar Sungai Nil. Sementara lahan pertanian di Sudan selatan, tak produktif karena jauh dari jalan, pasar dan tak tersentuh sarana transportasi. Padahal Sudan memiliki potensi tambang berupa emas, bijih besi dan tembaga. Sedangkan potensi pertaniannya adalah kapas, gandum, kacang tanah dan hewan ternak. Lonjakan pertumbuhan ekonomi yang cukup berarti terjadi pada 1979, saat ditemukan deposit minyak bumi di Sudan selatan yang kemudian dieksplorasi.

Kesenjangan Sudan utara dengan selatan nyata sekali. Secara etnis, keduanya juga memiliki perbedaan. Sudan utara ditinggali oleh mayoritas keturunan Arab yang meliputi tiga perempat penduduk Sudan. Maka bahasa Arab menjadi bahasa pengantar utama di Sudan. Sementara di selatan orang Negro yang dominan dengan beragam suku.

v Konflik Darfur dan Sudan Selatan

“Konflik Sudan pada saat in merupakan awal dari episode akhir skenario panjang yang dirancang oleh pihak Kristen dan kaum sekularuntuk menguasai Sudan. Juga merupakan bukti makar yang dilakukan oleh orang-orang hipokrit, sekaligus saksi kelalaian kaum muslimin,” tutur Dr.Abdul Aziz Kamil dalam majalah Al-Bayan edisi Muharram 1426. Negara ini memang tak pernah aman dari konflik jauh sebelum ia merdeka dari penjajahan Inggris tahun 1956. Inggris adalah negara pertama yang mengambil peran dalam penyebaran benih fitnah di Sudan Selatan. Sejak Inggris menguasai negeri penguasa sungai Nil kedua setelah Mesir ini pada akhir abad ke-19, mereka telah menutup jalan masuk dakwah islamiah ke Sudan Selatan. Di saat yang sama, mereka melebarkan sayap kristenisasi dengan membiarkan masuk para misionaris untuk menyebarkan paham dan pengaruh Kristen. Setelah Sudan merdeka, usaha kristenisasi ini tetap berlangsung dengan makmur, karena pemerintah Sudan tidak terlalu memperhatikan usaha kristenisasi ini. Yang penting adalah keadaan rakyat Sudan tetap makmur dan sejahtera.

Keadaan ini tetap berlangsung hingga kini. Malah terlihat ada indikasi yang menyatakan dukungan pemerintah Sudan terhadap proses kristenisasi. Hal ini antara lain terlihat dengan dihapusnya undang-undang tentang batas penyebaran agama Kristen yang pernah ditetapkan pada masa pemerintahan Ibrahim Abud (tahun1957—1963). Undang undang ini melarang adanya pembangunan gereja baru di wilayah Sudan Selatan tanpa izin dari pemerintah. Hal ini untuk menghindari terjadinya konflik antaragama dan pembangunan tempat peribadatan Kristen di wilayah umat Islam. Namun kemudian ketentuan ini dihapus atas permintaan Paus Paulus II yang berkunjung ke Sudan tahun 1994. Sehingga terbukalah sebuah kesempatan emas bagi pihak gereja untuk menyebarkan agama Kristen di Sudan dengan seluas-luasnya, dengan tetap berpusat di Sudan Selatan.

Perang ideologi antara penduduk Sudan Selatan yang mayoritas kristen dan Sudan Utara yang sebagian besar muslim mulai tersulut sejak saat itu. Di samping itu, perbedaan ras juga memicu panasnya konflik; penduduk Sudan Selatan didominasi oleh orang-orang Negro sedangkan Sudan Utara banyak dihuni oleh keturunanketurunan Arab. Pihak musuh yang dikomandoi oleh kaum Yahudi memanfaatkan kesempatan ini untuk mempertajam konflik dengan mengubah ‘topik konflik’ dari agama dan ras menjadi konflik politik dan militer. Hal ini melihat besarnya potensi Sudan untuk kepentingan Yahudi mewujudkan angan mereka mendirikan negara Israel Raya. Dr. Abdul Aziz Kamil menyatakan bahwa potensi-potensi tersimpan yang dimiliki Sudan itu antara lain:

Pertama, Sudan adalah negara yang terluas di benua Afrika dan wilayah tersubur di kawasan negara Arab. Hal ini memungkinkan adanya pemberdayaan sumber daya alam yang lebih dibanding negara-negara lainnya.

Kedua, Negara Sudan yang saat ini dianggap miskin dan terbelakang, ternyata menyimpan kekayaan alam yang melimpah, seperti adanya kandungan minyak di bagian selatan dan kandungan uranium di bagian barat. Kekayaan yang dapat membawa Sudan menjadi negara kaya dan potensial. Sudan juga masih menyimpan cadangan minyak bumi sebanyak 631,5 juta barel dan 99,11 milyar meter kubik gas alam yang belum tereksploitasi, serta cadangan biji besi dan tembaga dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Saat ini, produksi minyak mentahnya sekitar 500.000 barel per hari.

Ketiga, Sudan berada di posisi strategis lalu lintas perairan Laut Merah. Sebuah posisi yang menguntungkan untuk menguasai perikanan hingga ke jantung Afrika.

Keempat, Sudan adalah penguasa sungai Nil kedua setelah Mesir. Sudan sebenarnya adalah negara subur dengan dua aliran anak sungai Nil yang memberi berkah pertanian yang menjadi pilar utama perekonomian negara.

Kelima, Sudan merupakan gerbang masuknya Islam ke kawasan selatan dan Afrika yang kini menjadi tujuan program tanshiriah internasional.

Keenam, Sudan adalah satu-satunya Negara Arab yang berani menyuarakan syiar jihad dalam setiap pertempuran menghadapi musuh, di saat kata-kata jihad kini sering dikonotasikan dengan kelompok teroris.

Peristiwa Darfur masih merupakan rentetan dari konflik di Sudan Selatan. Opini yang berkembang selama ini menyebutkan, bahwa konflik ini dipicu oleh keinginan kabilah-kabilah Arab di Darfur untuk mengusir kabilah yang berasal dari ras Afrika yang tinggal di sana. Keinginan ini kemudian berujung dengan pembentukan Milisi Junjuwaid oleh kabilah Arab. Sebuah opini yang ingin dicitrakan oleh Washington, ibukota-ibukota Eropa, dan PBB tentang Sudan pada dunia internasional, walaupun tidak sepenuhnya benar. Presiden Al-Basyir menyebutkan dalam wawancara dengan stasiun TV Aljazeera bahwa konflik yang sifatnya rasial memang sudah ada sejak lama dikarenakan oleh banyak sebab. Menurut Muhammad Arafah, masalahnya bukan hanya karena kabilah kabilah dan pertikaian mereka yang tanpa henti, bukan pula kerena milisi Junjuwaid Arab saja, tetapi juga karena ketegangan bersenjata yang diciptakan sebagian kabilah-kabilah yang berasal dari ras Afrika dan karena gerakan-gerakan separatis di barat Darfur (3 gerakan) di mana sebagian orang menamakan mereka dengan Toro Poro, yang terbentuk menjelang aneksasi AS atas Afghanistan pada Oktober 2001 (atau sebelum terbentuknya

Junjuwaid).

Namun demikian, masalah terbesar adalah karena adanya intervensi asing, sebab intervensi lembaga-lembaga misionaris dan intervensi gerakan separatis massa di selatan pimpinan John Garank demi target-target tak diketahui dan demi munculnya dua kelompok Islam, memperkeruh masalah, menyokong gerakan-gerakan separatis di barat Sudan, dan karena tuntutan mereka yang bertujuan agar Darfur diperlakukan seperti di selatan Sudan. Di samping itu, intervensi Negara-negara luar juga sangat kuat. Surat kabar The Washington Post melaporkan bahwa konflik Darfur telah melibatkan banyak pihak, termasuk Amerika Serikat. Hal ini dapat ditelusuri dari peristiwa yang terjadi pada 20 Agustus 1998. Pada hari itu, sejumlah pesawat tempur AS menghancurkan pabrik Asy-Syifa’, pabrik farmasi terbesar di Sudan Selatan. Pemerintah AS yang saat itu dipimpin oleh Bill Clinton menjelaskan, bahwa penyerangan ini dilakukan karena pabrik tersebut diduga memproduksi sejumlah bahan yang digunakan untuk membuat senjata kimia. Pejabat AS meyakini keberadaan pabrik itu mempunyai koneksi dengan Osama bin Laden. Sebuah dugaan yang tidak bisa dibuktikan. Peristiwa serangan AS ke pabrik Asy-Syifa’ itu mendapatkan kecaman dari berbagai pihak. Aksi brutal AS di Sudan tersebut sangat mengerikan dan memakan banyak korban sipil yang mati akibat ketiadaan obat. Meski tidak ada hubungan antara tragedi kemanusiaan Sudan saat ini dengan peristiwa pengeboman itu, tetapi ada sejumlah hal yang harus dipertimbangkan berkaitan dengan pengeboman tersebut.

Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan resolusi kepada pemerintah Sudan untuk menyerahkan 51 tersangka dalam kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan yang umumnya melibat pejabat militer Sudan dan anggota milisi Junjuwaid, dan menyerahkannya ke Mahkamah Pengadilan Internasional (ICC). Namun hal ini mendapatkan tantangan keras dari pemerintah Sudan. Mereka bersikeras untuk menyelesaikan segala permasalahan di dalam negeri tanpa campur tangan pihak asing sedikitpun. Presiden Al-Basyir bahkan menegaskan pada pidatonya tanggal 2 Mei lalu bahwa pemerintah Sudan tidak pernah takut dengan Inggris, Amerika, dan Dewan Keamanan.

Yang juga perlu diketahui adalah kawasan Darfur yang tereletak di bagian barat, menguasai seperlima wilayah Sudan, sementara Sudan Selatan mencakup seperempat wilayah. Sehingga bila konflik ini terus berlanjut lalu berakhir dengan pemisahan diri kaum pemberontak dari kekuasaan pemerintahan Republik Sudan, maka yang tersisa dari Sudan hanya akan tinggal setengahnya saja.

v Antara Israel dan Tentara Pemberontak

Hubungan antara pasukan pemberontak di Sudan Selatan yang ingin memisahkan diri dari negara Sudan dengan Israel, telah terbina jauh sebelum John Garank, pimpinan kaum pemeberontak, muncul ke pentas politik Sudan. Sebuah upaya penguasaan Sudan, telah dirintis oleh kaum Yahudi sejak tahun 50-an. Saat itu, Yahudi mulai membina hubungan dengan penduduk Sudan Selatan dengan banyak memberikan bantuan kemanusiaan kepada penduduk di Selatan dan sebagian penduduk di utara Sudan. Pada tahun 60-an, Israel mulai melancarkan provokasi kepada penduduk untuk melakukan pemberontakan. Tidak hanya itu, mereka juga mempersenjatai penduduk Sudan Selatan dengan berbagai persenjataan militer dan mendirikan akademi militer untuk para pemuda Sudan di Ethiopia, Uganda, dan Kenya. Bahkan tentara dan perwira Israel mendirikan karantina khusus untuk melatih pemuda-pemuda Sudan, dengan mengambil tempat di dalam negeri Sudan. Pada pertengahan tahun 70-an, kaum Yahudi melakukan penambahan stok senjata untuk para tentara Sudan yang kemudian mereka gunakan untuk membantai kaum muslmin di sana. Mendekati paruh waktu tahun 80-an, terbentuklah pasukan tentara Sudan keluaran akademi militer Israel. Sepanjang tahun 80-an ini, negara-negara tetangga, seperti Kenya dan Uganda, turut memberikan andil politik dalam mengokohkan kepemimpinan John Garank di Sudan Selatan. Tahun 90-an, tentara Israel memberikan tambahan perangkat senjata militer modern dan mutakhir untuk kepentingan perang. Genderang perang pun semakin kencang terdengar sejak saat itu. Suaranya membahana ke seluruh penjuru dunia. Amr Musa, sekretaris perkumpulan liga arab yang juga seorang pengamat politik, setelah terjadinya penyerangan Amerika ke Irak, menegaskan bahwa kondisi Irak saat ini tidak lebih parah daripada kondisi yang akan dihadapi Sudan akan datang. Dan benar, tak lama setelah itu meletuslah tragedi Darfur di Sudan Barat.

Pengotak-ngotakan negara Arab yang dilakukan oleh kelompok Yahudi merambah jauh ke dalam negeri Sudan. Pemberontakan demi pemberontakan yang terjadi hanya sebagi langkah awal untuk menjadikan Sudan terpecah belah yang tentu berpengaruh pada kondisi negara negara Arab di timur tengah. Perjanjian damai yang terjadi kemudian tidak menjadi indikasi bahwa negara Sudan akan kembali bersatu. Malah justru dari sinilah pemecahan itu dimulai.

Perjanjian yang diadakan pada hari Ahad, 28 Dzulqadah 1425/9 Januari 2005, antara pemerintah Sudan dengan Sudan People’s Liberation Army (SPLA) yang dipimpin oleh Dr. John Garank, telah menyepakati adanya referendum gencatan senjata antar kedua belah pihak dan memberikan kesempatan otonomi daerah kepada pihak Sudan Selatan untuk menjalankan pemerintahan sendiri selama enam tahun. John Garank sendiri diangkat menjadi wakil presiden pertama Sudan dan memegang kepemimpinan tertinggi di Sudan Selatan. Maka terjadilah negara dalam negara. Ketika pihak Aljazeera mengkonfirmasikan hal ini dengan Presiden Al-Basyir, beliau menegaskan bahwa seluruhnya tetap berada dalam lingkup Republik Sudan tapi dengan dua macam undang-undang pemerintahan. Hal ini telah terjadi sejak tahun 1964.

Jangka waktu enam tahun ini bisa menjadi kesempatan emas bagi kaum pemberontak untuk melebarkan sayapnya. Dalam rentang waktu ini mereka bebas mengeruk kekayaan alam dan gas bumi yang berada di Sudan Selatan tanpa ada campur tangan dari pemerintah. Enam tahun adalah waktu yang sangat panjang untuk mempersiapkan segala sesuatu di bidang militer, ekonomi, sosial, politik internasional, dan di bidang lainnya. Mereka pun dapat menghantam dan menyudutkan pemerintah Sudan di mata dunia dengan menyebarkan berbagai opini dan isu, dibantu Amerika dan Israel. Sehingga ketika masa enam tahun selesai, prediksi Dr. Abdul Aziz, John Garank tidak akan memberikan kekuasaan wilayah Sudan Selatan kepada pemerintah, namun akan balik menyerang dengan segala kekuatan milter yang dimilikinya bersama sekutunya.